September
2015, industri mobil dunia terguncang oleh skandal. Volkswagen, salah satu
produsen terbesar mobil dunia asal Jerman, melanggar ketentuan terkait dengan
jumlah emisi mobil-mobil hasil produksinya. Harga saham Volkswagen menurun
drastis. Pemecatan besar-besaran serta denda milyaran Euro pun sudah menunggu
di depan mata.
Banyak
analisis diajukan atas masalah ini. Intinya adalah, Volkswagen telah menipu
pemerintah dan masyarakat terkait dengan jumlah polusi yang dihasilkan oleh
mobil-mobilnya. Ia tidak hanya melanggar hukum dan menodai kepercayaan
masyarakat, tetapi juga merusak alam. Pola pelanggaran semacam ini sudah
terjadi begitu sering di dunia. Perusahaan-perusahaan multinasional mengabaikan
semua hal, demi mendapatkan keuntungan yang lebih banyak lagi.
Pertanyaan
kecil pun menggantung di kepala saya. Mengapa perusahaan yang sudah begitu kaya
dan besar masih saja terjebak pada kerakusan akan uang? Bukankah mereka sudah
amat sangat kaya, bahkan untuk ukuran perusahaan mobil raksasa yang usianya
sudah hampir 100 tahun? Apa yang sebenarnya terjadi?
Salah
Paham
Yang
jelas, Volkswagen mengalami kesalahpahaman mendasar. Mereka mengira, bahwa uang
adalah hal terpenting dalam hidup. Akibatnya, mereka menipu pemerintah dan
masyarakat, guna mendapat uang lebih banyak lagi. Sayangnya, pandangan yang
salah semacam ini justru memukul balik Volkswagen itu sendiri.
Volkswagen
tidak sendiri. Begitu banyak orang mengalami kesalahpahaman yang sama. Mereka
mengira, hal terpenting di dunia adalah uang. Ketika uang banyak, mereka justru
bingung, dan akhirnya melakukan hal-hal yang justru menghancurkan diri mereka
sendiri.
Mereka
bilang, mereka butuh uang untuk hidup. Ini akhirnya menciptakan semacam
lingkaran setan yang tidak masuk akal. Orang bekerja untuk hidup, sementara
hidupnya diisi dengan bekerja lebih banyak lagi. Tak heran, dengan pola hidup
semacam ini, banyak orang menderita dalam hidupnya.
Banyak
orang juga bilang, bahwa mereka mencari uang untuk keluarga. Ini tentu masuk
akal dan benar. Akan tetapi, apakah bisa dibenarkan, jika kita mencari uang
untuk keluarga kita, dan menipu keluarga-keluarga lainnya? Lagi pula, seberapa
banyak sih uang yang kita butuhkan untuk menghidupi keluarga kita?
Milyaran Euro?
Kebingungan
menghasilkan kesalahpahaman semacam ini. Kesalahpahaman akhirnya membuahkan
penderitaan yang lebih banyak lagi. Kita tidak paham, apa yang terpenting dalam
hidup ini, dan akhirnya melakukan hal-hal bodoh. Orang lain pun kena getahnya,
akibat dari kebodohan kita.
Yang
Terpenting
Lalu, apa
yang terpenting dalam hidup ini? Jawabannya jelas bukan uang. Saya bahkan
berani berpendapat, bahwa yang terpenting dalam hidup ini pun bukan hidup itu
sendiri. Keluarga, bahkan memahami “tuhan”, pun juga bukan merupakan hal
terpenting dalam hidup ini. Hidup, uang, keluarga dan tuhan tentu penting,
tetapi bukanlah yang terpenting.
Yang terpenting
dalam hidup ini adalah memahami, siapa kita sebenarnya. Kita punya tugas utama
dalam hidup ini, yakni menyadari jati diri sejati kita sebagai manusia. Jika
kita bisa menyadari ini, maka kita akan menemukan kebebasan serta kebahagiaan
yang sejati. Kita pun lalu bisa membantu mengembangkan kehidupan orang lain dan
masyarakat kita.
Ini bukan
hanya pandangan saya. Beragam pandangan di berbagai belahan dunia juga
berpendapat yang sama. Tradisi Vedanta di India, filsafat Stoa di Yunani Kuno,
tradisi Mistik Kristen, tradisi Sufisme di Islam, tradisi Zen di Jepang dan
pandangan hidup suku Sioux di Amerika Utara menanyakan pertanyaan penting yang
sama, siapakah kita sesungguhnya? Pertanyaan ini adalah pertanyaan terpenting
di dalam hidup manusia.
Jati
Diri Sejati
Yang
jelas, kita bukanlah nama kita. Nama adalah pemberian orang tua. Itu bisa
diganti. Kita juga bukan agama, ras ataupun suku kita. Semua itu bisa berubah.
Kita perlu
mencari yang tak berubah di dalam diri kita. Tubuh kita berubah. Pikiran kita
pun berubah. Yang tak berubah adalah jati diri sejati kita sebagai manusia.
Jati diri
ini adalah kesadaran murni (pure awareness) kita. Namun, kesadaran
bukanlah otak. Otak adalah bagian dari tubuh. Dan kita jelas bukanlah tubuh
kita.
Kesadaran
inilah yang memungkinkan kita membaca tulisan ini. Kesadaran inilah yang
memungkinkan kita terus bernafas. Ia adalah sumber dari segala aktivitas di
dalam diri kita. Ia selalu ada, bahkan ketika kita pikun, atau masuk dalam
keadaan koma.
Kesadaran
Murni
Sayangnya,
kita sering lupa pada jati diri sejati kita ini. Kita lupa, bahwa kita bukanlah
identitas sosial kita. Kita melupakan jati diri sejati kita, meskipun ia selalu
ada bersama kita. Untuk melampaui kelupaan semacam ini, ada satu metode yang
bisa digunakan, yakni metode mencerap (perceiving method).
Sejak kita
lahir di dunia ini, kita sudah mencerap segala sesuatu. Kita merasakan segala
sesuatu secara langsung. Kita tidak menilai ataupun menganalisis. Kita bisa
mencerap, karena kita memiliki kesadaran murni di dalam diri kita.
Lalu, kita
belajar bahasa dan konsep dari keluarga kita. Kita juga belajar di sekolah.
Kita juga mulai belajar untuk melakukan analisis dan penilaian atas segala
sesuatu. Akhirnya, kita berhenti untuk mencerap, dan selalu menggunakan daya
analisis dan daya penilaian di dalam hidup kita.
Ketika ini
terjadi, kita melupakan jati diri sejati kita, yakni kesadaran murni kita. Kita
terjebak pada dunia konsep dan dunia analisis. Kita menilai segala sesuatu.
Kita pun sulit untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan di dalam hidup kita,
karena terlalu banyak berpikir.
Analisis
jelas diperlukan di dalam hidup kita. Daya penilaian juga amat penting. Namun,
keduanya bukanlah yang terpenting. Yang terpenting adalah kesadaran murni kita.
Kesadaran
murni juga merupakan sumber dari daya analisis dan daya penilaian kita.
Kesadaran murni ini tidak dapat ditunjuk, tetapi dapat dengan mudah dirasakan.
Kita hanya perlu berhenti untuk menganalisis dan menilai. Kita hanya perlu
mencerap segala yang ada dari saat ke saat, tanpa analisis dan tanpa penilaian.
Ketika ini
dilakukan, pikiran kita menjadi jernih. Kita menemukan ketenangan, kebebasan
dan kebahagiaan di dalam diri kita sendiri. Kita lalu bisa menolong diri kita
sendiri dan orang lain. Kita bisa berfungsi dengan baik sebagai manusia.
Melampaui
Kelekatan
Ketika
kita menyadari kembali kesadaran murni kita, segala kelekatan pun hilang. Kita
tidak lagi melekat pada harta, uang, jabatan, keluarga dan bahkan pada hidup
itu sendiri. Kita menemukan kebebasan yang sejati.
Dengan
kata lain, kita tidak lagi kecanduan pada uang, kuasa, jabatan dan bahkan hidup
itu sendiri. Kita bisa menggunakan itu semua sesuai fungsinya. Kita juga bisa
menggunakan itu semua untuk membantu orang lain. Bahkan, kita bersedia mati
untuk menyelamatkan orang lain.
Ketika
kita menyadari kembali kesadaran murni kita, kita menciptakan jarak dengan
segala hal. Kita tidak lagi terikat dengan identitas sosial maupun
pikiran-pikiran kita. Kita lalu sadar, bahwa itu semua terus berubah, dan amat
rapuh. Jarak semacam ini menciptakan kejernihan dan kewarasan di dalam diri
kita.
Dengan
kejernihan dan kewarasan, kita bisa hidup dengan jernih dari saat ke saat. Kita
mencerap dari saat ke saat. Kita menggunakan analisis dan penilaian, jika
diperlukan. Selebihnya, kita beristirahat di dalam rumah kesadaran murni di
dalam diri kita sendiri.
Jika
setiap orang menyadari kesadaran murni di dalam dirinya, hidup bersama akan
menjadi mudah. Perbedaan tidak menjadi sumber bagi konflik, melainkan sumber
bagi dialog. Politik menjadi efektif dan efisien. Korupsi, kolusi dan nepotisme
pun hanya tinggal kenangan.
Jika para
pemimpin Volkswagen belajar hal ini, tentu mereka tidak akan terjebak dalam
skandal. Pemerintah dan masyarakat juga tidak akan tertipu mentah-mentah. Alam
juga tidak akan rusak, karena kerakusan mereka. Namun begitu, kesempatan masih
terbuka, juga bagi Volkswagen.
Untuk apa
kekayaan berlimpah, tetapi kita tidak mengenal, siapa diri kita? Untuk apa nama
besar dan jabatan tinggi, tetapi kita hidup dalam kelekatan dan penderitaan?
Untuk apa memiliki kecerdasan tinggi, tetapi terjebak terus dalam kecemasan dan
kesepian? Saya harap, kita mulai tergerak untuk melakukan tugas utama kita di
dalam hidup, yakni menyadari kembali jati diri sejati kita sebagai manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar