Minggu, 25 Desember 2016

Dua Sayap Pendidikan



Di berbagai negara, kita menemukan banyak pejabat politik yang terjebak korupsi. Mereka memiliki gelar pendidikan tinggi. Mereka juga memiliki nama baik di lingkungan sosialnya. Namun, latar belakang pendidikan tinggi, pengetahuan agama, serta nama baik sama sekali tidak menghalangi mereka untuk mencuri dan merugikan orang lain.

Kecenderungan yang sama juga sering kita temukan di kalangan pemuka agama. Mereka adalah orang-orang yang dianggap bijak, karena memiliki pengetahuan agama yang tinggi. Namun, kerap kali, mereka juga jatuh ke dalam sikap bejat yang sama. Korupsi, pemerkosaan, penipuan, serta beragam pelanggaran lainnya juga kerap mereka lakukan, karena kerakusan dan kekosongan batin yang mereka alami.
Kita juga sering mendengar berita tentang perilaku bejat para manajer dan direktur perusahaan-perusahaan besar. Mereka menggunakan segala cara, guna meraih keuntungan ekonomis. Mereka juga tak segan untuk merugikan orang lain, guna mencapai tujuan itu. Kekayaan dan kecerdasan justru bisa digunakan untuk tujuan-tujuan yang merusak.
Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa pengetahuan yang luas tidak menjamin orang bebas dari korupsi? Mengapa pengetahuan agama yang mendalam tidak mendorong orang menjadi lebih baik, melainkan justru menjadi lebih bejat dengan menggunakan pembenaran-pembenaran palsu dari pengetahuan agama yang dimilikinya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mesti kita jawab bersama.
Akar dari gejala ini adalah cacat di dalam paradigma pendidikan kita di Indonesia. Pendidikan kita tak punya sayap. Di dalam tradisi Filsafat Timur, pendidikan selalu dilihat sebagai kerja sama dari dua aspek yang tak terpisahkan, yakni pengetahuan dan pengalaman. Ketika dua sayap ini ada, barulah pendidikan bisa mendorong orang tidak hanya untuk cerdas, tetapi juga terbang menuju kebijaksanaan.
Pengetahuan bisa diperoleh, ketika kita mendengar ajaran dari orang lain. Kita juga bisa memperoleh pengetahuan dari membaca buku. Dengan pengetahuan yang ada, kita bisa meningkatkan mutu hidup kita, sekaligus membantu orang lain. Namun, pengetahuan semata tidaklah cukup, karena kita masih menciptakan jarak antara diri kita dengan kenyataan melalui konsep-konsep yang kita rumuskan.
Yang lebih penting adalah pengalaman. Pengalaman disini adalah persentuhan langsung dengan kenyataan apa adanya, tanpa terlebih dahulu dihalangi oleh konsep. Pola semacam ini dapat diperoleh, jika orang melakukan refleksi, yakni melihat jauh ke dalam dirinya sendiri, guna memahami jati diri sejatinya sebagai manusia. Inilah kiranya yang kurang di dalam paradigma pendidikan di Indonesia.
Pemahaman akan jati diri sejati berarti orang bergerak melampaui segala bentuk pemahaman yang terkait dengan identitas sosial. Kita bukanlah identitas sosial kita. Itu hanya satu bagian kecil dari kemanusiaan kita. Pemahaman akan jati diri sejati, ditambah dengan pengetahuan yang luas, akan mendorong orang masuk ke dalam kebijaksanaan.
Ketika pendidikan tidak bersayap, ia justru akan menghasilkan manusia-manusia bodoh. Ketika pendidikan hanya memiliki satu sayap, ia akan rapuh dan akan menghasilkan manusia-manusia yang cacat. Ketika pendidikan hanya berfokus pada pengetahuan, ia akan menghasilkan manusia-manusia cerdas yang siap menipu dan korupsi, ketika ada kesempatan. Ketika pendidikan hanya berfokus pada pengalaman, ia akan menghasilkan manusia-manusia yang tidak terampil, dan tidak memiliki arah.
Kita tidak perlu lagi orang pintar. Sudah banyak orang pintar di muka bumi ini. Yang kita butuhkan adalah orang yang hidup dalam dua sayap pendidikan, yakni pengetahuan dan pengalaman. Buat apa gelar tinggi dan pengetahuan agama yang luas, jika itu hanya digunakan untuk membenarkan perilaku bejat di dalam kehidupan? Buat apa gelar tinggi dan tampilan memikat, namun hatinya kosong dan menderita, sehingga menciptakan penderitaan tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar