Pembakaran
hutan di Indonesia adalah masalah lama. Ini sudah terjadi bertahun-tahun.
Namun, masalah ini semakin besar belakangan ini, ketika asap mulai menutupi
beragam tempat di Indonesia dan beberapa negara tetangga. Kerugian yang
diciptakan oleh musibah ini menyentuh berbagai bidang kehidupan.
Hutan
rusak. Keseimbangan ekosistem alam terancam. Ini tentu akan membawa beragam
dampak lingkungan lainnya. Kita juga belum menghitung jumlah hewan dan tumbuhan
yang mati, akibat pembakaran hutan tersebut.
Ketika kabut
asap menutupi berbagai tempat, masalah kesehatan pun muncul. Banyak orang
menderita infeksi saluran pernapasan atas, akibat masalah ini. Bahkan, di
beberapa tempat, korban jiwa pun sudah berjatuhan. Jika terus berlanjut,
beragam masalah kesehatan lainnya juga akan muncul.
Masyarakat
sudah tahu, bahwa perusahaan-perusahaan besar adalah pelaku utama pembakaran
hutan ini. Mereka tidak lagi percaya pada perusahaan-perusahaan tersebut.
Ketidakpercayaan sosial semacam ini menciptakan keresahan sosial. Dari keadaan
ini, banyak masalah sosial lainnya juga akan muncul, mulai dari konflik antar
kelompok, sampai dengan kekerasan terhadap orang-orang yang tak bersalah.
Dalam
banyak kasus, pelaku utama pembakaran hutan ini tetap tidak tersentuh. Ini
tentu menjadi masalah hukum tersendiri. Perusahaan-perusahaan besar, banyak
darinya adalah perusahaan asing, menyuap pegawai pemerintah dan aparat hukum,
sehingga mereka lolos dari gugatan hukum. Hal ini tidak hanya merusak kewibaan
hukum Indonesia, tetapi juga merendahkan konstitusi dasar negara ini sendiri.
Kekuasaan Bisnis
Cuaca yang
semakin panas juga tidak membantu. Ini terjadi, akibat perubahan iklim yang
kini sedang melanda bumi ini. Jika ditelisik lebih dalam, para pelaku utama
pengrusakan lingkungan yang mengakibatkan perubahan iklim ini jugalah para
perusahaan besar, terutama perusahaan-perusahaan multinasional. Kasus penipuan
Volkswagen dan beberapa perusahaan mobil lainnya belakangan menunjukkan hal ini
dengan jelas.
Ignatius
Wibowo, pakar ekonomi politik Indonesia, juga melihat peran negara dalam hal
ini. Negara tidak hanya membiarkan berbagai pelanggaran ini terjadi, tetapi
justru mendukungnya. Negara, katanya, menjadi centeng dari
perusahaan-perusahaan besar. Ini membuat seluruh keadaan menjadi semakin rumit.
Di dalam
penelitiannya, Herry Priyono, filsuf dan pakar ekonomi politik, juga berulang
kali menegaskan kekuasaan perusahaan-perusahaan besar ini. Ia merumuskan
semacam teori kekuasaan bisnis. Tidak ada kontrol demokratis dari rakyat pada
perusahaan-perusahaan ini. Akibatnya, mereka bisa bertindak semuanya untuk
meningkatkan keuntungan, walaupun itu merugikan masyarakat luas.
Beberapa
perusahaan multinasional juga memiliki sumber daya raksasa yang melebihi
negara. Dengan kekayaan semacam ini, mereka bisa mempengaruhi berbagai
kebijakan nasional maupun internasional, demi keuntungan mereka sendiri. Yang
menjadi korban adalah negara miskin, terutama rakyat miskin yang hidup di
negara miskin. Jutaan orang di berbagai belahan dunia meninggal setiap tahunnya
sebagai akibat dari kebijakan perusahaan-perusahaan besar ini, baik secara
langsung maupun tidak.
Revolusi Institusi Bisnis
Jelas,
bahwa perubahan mendasar diperlukan. Perusahaan-perusahaan besar perlu
mengalami revolusi dari struktur dasarnya, supaya ia tidak lagi mengorbankan
kepentingan masyarakat luas, demi keuntungan ekonomi semata. Sepak terjangnya
perlu berada di bawah kontrol masyarakat luas. Namun, bagaimana ini dilakukan?
Pandangan
lama mengatakan, bahwa perusahaan dimiliki oleh para pemegang saham. Ini
terjadi di mayoritas perusahaan-perusahaan besar di dunia. Maka dari itu,
perusahaan harus dijalankan dengan mengabdi pada kepentingan pemegang saham
tersebut. Pendapatan para pemegang saham amat tergantung dari keberhasilan
perusahaannya menjalankan bisnis.
Di dalam
berbagai kebijakannya, para pemegang saham ini hanya memperhatikan satu hal,
yakni bagaimana supaya perusahaan meraih keuntungan lebih besar lagi. Jika
perusahaan bangkrut, maka mereka kehilangan segalanya. Oleh karena itu, seperti
dijelaskan Ha-Joon Chang, ekonom dari Universitas Cambridge, para pemegang
saham hanya sibuk dengan keuntungan jangan pendek semata. Ini dilakukan dengan
mengorbankan investasi jangka panjang, dan juga seringkali mengorbankan
kepentingan kelompok-kelompok lainnya.
Ketika
krisis melanda, para pemegang saham juga bersikap reaksioner dengan menjual
saham mereka. Ini membuat keadaan perusahaan menjadi semakin sulit. Korban
terbesar tentu di kalangan pekerja perusahaan tersebut. Ketika pemecatan
besar-besaran terjadi, masyarakat luas dan negara pun mengalami kerugian. Ini
yang kerap tidak diperhatikan oleh para pemegang saham.
Akuntabilitas Bisnis
Jalan
keluar dari masalah ini adalah dengan mengubah struktur kepemilikan perusahaan.
Di beberapa negara, pemiliki perusahaan-perusahaan besar bukan hanya para
pemegang saham, tetapi juga pemerintah dan beberapa elemen masyarakat sipil,
seperti perwakilan pekerja dan tokoh masyarakat yang dianggap mumpuni.
Kebijakan nasional dibuat, supaya susunan ini tidak dengan mudah dirubah,
terutama jika krisis melanda.
Perusahaan
Renault di Prancis sudah menjalankan ini. Beberapa Bank besar di Korea, Jepang
dan negara-negara Eropa menggunakan struktur kepemilikan perusahaan semacam
ini. Semua ini dilakukan, supaya bisnis tetap berada dalam kontrol masyarakat
luas, terutama dalam kaitan dengan kelestarian lingkungan. Ketika struktur
kepemilikan sudah diatur ulang, maka kebijakan-kebijakan perusahaan-perusahaan
besar itu pun bisa lebih dipertanggungjawabkan.
Model
semacam ini juga menjami keberlangsungan (Nachhaltigkeit) perusahaan
dalam kaitan dengan kehidupan masyarakat yang lebih luas dan pelestarian
lingkungan hidup. Franz Joseph Radermacher, ahli teknologi dan ekologi di
Jerman, menyebutnya sebagai tata kelola ekonomi yang berpijak pada kesadaran
sosial dan ekologis (ökosoziale Marktwirtschaft). Kontrol dari
pemerintah dan masyarakat sipil tidak hanya berlangsung dari luar perusahaan,
seperti yang sekarang ini terjadi, tetapi juga dari dalam perusahaan itu
sendiri, yakni dari para pemiliknya. Model semacam ini juga memastikan
investasi jangka panjang di dalam perusahaan tersebut bisa terus berlangsung.
Di tengah
beragam pelanggaran berat yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar di
seluruh dunia, revolusi dari institusi bisnis mutlak diperlukan. Kita sudah
lelah dengan eksploitasi tenaga kerja oleh perusahaan-perusahaan besar yang
menekan upah buruh serendah-rendahnya. Kita juga sudah lelah dengan eksploitasi
sumber daya alam yang mereka lakukan. Kita sudah jenuh dengan kebijakan pembuangan
limbah sembarangan, sampai dengan pembakaran hutan, demi keuntungan ekonomi
sesaat perusahaan-perusahaan tersebut.
Untuk apa
sebuah negara memiliki perusahaan-perusahaan raksasa dengan modal besar, tetapi
alamnya rusak? Untuk apa sebuah negara memiliki gemilau perusahaan-perusahaan
dengan merk keren, tetapi kesenjangan antara si kaya dan si miskin begitu
besar? Bukankah ini akan menciptakan keadaan hidup bersama yang tidak nyaman?
Lebih dari itu, bukankah ini akan menciptakan keadaan yang subur untuk kebencian,
iri hati dan akhirnya konflik yang memakan banyak korban? Mau sampai kapan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar