Minggu, 25 Desember 2016

Kita Sudah Lelah



Pembakaran hutan di Indonesia adalah masalah lama. Ini sudah terjadi bertahun-tahun. Namun, masalah ini semakin besar belakangan ini, ketika asap mulai menutupi beragam tempat di Indonesia dan beberapa negara tetangga. Kerugian yang diciptakan oleh musibah ini menyentuh berbagai bidang kehidupan.

Hutan rusak. Keseimbangan ekosistem alam terancam. Ini tentu akan membawa beragam dampak lingkungan lainnya. Kita juga belum menghitung jumlah hewan dan tumbuhan yang mati, akibat pembakaran hutan tersebut.
Ketika kabut asap menutupi berbagai tempat, masalah kesehatan pun muncul. Banyak orang menderita infeksi saluran pernapasan atas, akibat masalah ini. Bahkan, di beberapa tempat, korban jiwa pun sudah berjatuhan. Jika terus berlanjut, beragam masalah kesehatan lainnya juga akan muncul.
Masyarakat sudah tahu, bahwa perusahaan-perusahaan besar adalah pelaku utama pembakaran hutan ini. Mereka tidak lagi percaya pada perusahaan-perusahaan tersebut. Ketidakpercayaan sosial semacam ini menciptakan keresahan sosial. Dari keadaan ini, banyak masalah sosial lainnya juga akan muncul, mulai dari konflik antar kelompok, sampai dengan kekerasan terhadap orang-orang yang tak bersalah.
Dalam banyak kasus, pelaku utama pembakaran hutan ini tetap tidak tersentuh. Ini tentu menjadi masalah hukum tersendiri. Perusahaan-perusahaan besar, banyak darinya adalah perusahaan asing, menyuap pegawai pemerintah dan aparat hukum, sehingga mereka lolos dari gugatan hukum. Hal ini tidak hanya merusak kewibaan hukum Indonesia, tetapi juga merendahkan konstitusi dasar negara ini sendiri.
Kekuasaan Bisnis
Cuaca yang semakin panas juga tidak membantu. Ini terjadi, akibat perubahan iklim yang kini sedang melanda bumi ini. Jika ditelisik lebih dalam, para pelaku utama pengrusakan lingkungan yang mengakibatkan perubahan iklim ini jugalah para perusahaan besar, terutama perusahaan-perusahaan multinasional. Kasus penipuan Volkswagen dan beberapa perusahaan mobil lainnya belakangan menunjukkan hal ini dengan jelas.
Ignatius Wibowo, pakar ekonomi politik Indonesia, juga melihat peran negara dalam hal ini. Negara tidak hanya membiarkan berbagai pelanggaran ini terjadi, tetapi justru mendukungnya. Negara, katanya, menjadi centeng dari perusahaan-perusahaan besar. Ini membuat seluruh keadaan menjadi semakin rumit.
Di dalam penelitiannya, Herry Priyono, filsuf dan pakar ekonomi politik, juga berulang kali menegaskan kekuasaan perusahaan-perusahaan besar ini. Ia merumuskan semacam teori kekuasaan bisnis. Tidak ada kontrol demokratis dari rakyat pada perusahaan-perusahaan ini. Akibatnya, mereka bisa bertindak semuanya untuk meningkatkan keuntungan, walaupun itu merugikan masyarakat luas.
Beberapa perusahaan multinasional juga memiliki sumber daya raksasa yang melebihi negara. Dengan kekayaan semacam ini, mereka bisa mempengaruhi berbagai kebijakan nasional maupun internasional, demi keuntungan mereka sendiri. Yang menjadi korban adalah negara miskin, terutama rakyat miskin yang hidup di negara miskin. Jutaan orang di berbagai belahan dunia meninggal setiap tahunnya sebagai akibat dari kebijakan perusahaan-perusahaan besar ini, baik secara langsung maupun tidak.
Revolusi Institusi Bisnis
Jelas, bahwa perubahan mendasar diperlukan. Perusahaan-perusahaan besar perlu mengalami revolusi dari struktur dasarnya, supaya ia tidak lagi mengorbankan kepentingan masyarakat luas, demi keuntungan ekonomi semata. Sepak terjangnya perlu berada di bawah kontrol masyarakat luas. Namun, bagaimana ini dilakukan?
Pandangan lama mengatakan, bahwa perusahaan dimiliki oleh para pemegang saham. Ini terjadi di mayoritas perusahaan-perusahaan besar di dunia. Maka dari itu, perusahaan harus dijalankan dengan mengabdi pada kepentingan pemegang saham tersebut. Pendapatan para pemegang saham amat tergantung dari keberhasilan perusahaannya menjalankan bisnis.
Di dalam berbagai kebijakannya, para pemegang saham ini hanya memperhatikan satu hal, yakni bagaimana supaya perusahaan meraih keuntungan lebih besar lagi. Jika perusahaan bangkrut, maka mereka kehilangan segalanya. Oleh karena itu, seperti dijelaskan Ha-Joon Chang, ekonom dari Universitas Cambridge, para pemegang saham hanya sibuk dengan keuntungan jangan pendek semata. Ini dilakukan dengan mengorbankan investasi jangka panjang, dan juga seringkali mengorbankan kepentingan kelompok-kelompok lainnya.
Ketika krisis melanda, para pemegang saham juga bersikap reaksioner dengan menjual saham mereka. Ini membuat keadaan perusahaan menjadi semakin sulit. Korban terbesar tentu di kalangan pekerja perusahaan tersebut. Ketika pemecatan besar-besaran terjadi, masyarakat luas dan negara pun mengalami kerugian. Ini yang kerap tidak diperhatikan oleh para pemegang saham.
Akuntabilitas Bisnis
Jalan keluar dari masalah ini adalah dengan mengubah struktur kepemilikan perusahaan. Di beberapa negara, pemiliki perusahaan-perusahaan besar bukan hanya para pemegang saham, tetapi juga pemerintah dan beberapa elemen masyarakat sipil, seperti perwakilan pekerja dan tokoh masyarakat yang dianggap mumpuni. Kebijakan nasional dibuat, supaya susunan ini tidak dengan mudah dirubah, terutama jika krisis melanda.
Perusahaan Renault di Prancis sudah menjalankan ini. Beberapa Bank besar di Korea, Jepang dan negara-negara Eropa menggunakan struktur kepemilikan perusahaan semacam ini. Semua ini dilakukan, supaya bisnis tetap berada dalam kontrol masyarakat luas, terutama dalam kaitan dengan kelestarian lingkungan. Ketika struktur kepemilikan sudah diatur ulang, maka kebijakan-kebijakan perusahaan-perusahaan besar itu pun bisa lebih dipertanggungjawabkan.
Model semacam ini juga menjami keberlangsungan (Nachhaltigkeit) perusahaan dalam kaitan dengan kehidupan masyarakat yang lebih luas dan pelestarian lingkungan hidup. Franz Joseph Radermacher, ahli teknologi dan ekologi di Jerman, menyebutnya sebagai tata kelola ekonomi yang berpijak pada kesadaran sosial dan ekologis (ökosoziale Marktwirtschaft). Kontrol dari pemerintah dan masyarakat sipil tidak hanya berlangsung dari luar perusahaan, seperti yang sekarang ini terjadi, tetapi juga dari dalam perusahaan itu sendiri, yakni dari para pemiliknya. Model semacam ini juga memastikan investasi jangka panjang di dalam perusahaan tersebut bisa terus berlangsung.
Di tengah beragam pelanggaran berat yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar di seluruh dunia, revolusi dari institusi bisnis mutlak diperlukan. Kita sudah lelah dengan eksploitasi tenaga kerja oleh perusahaan-perusahaan besar yang menekan upah buruh serendah-rendahnya. Kita juga sudah lelah dengan eksploitasi sumber daya alam yang mereka lakukan. Kita sudah jenuh dengan kebijakan pembuangan limbah sembarangan, sampai dengan pembakaran hutan, demi keuntungan ekonomi sesaat perusahaan-perusahaan tersebut.
Untuk apa sebuah negara memiliki perusahaan-perusahaan raksasa dengan modal besar, tetapi alamnya rusak? Untuk apa sebuah negara memiliki gemilau perusahaan-perusahaan dengan merk keren, tetapi kesenjangan antara si kaya dan si miskin begitu besar? Bukankah ini akan menciptakan keadaan hidup bersama yang tidak nyaman? Lebih dari itu, bukankah ini akan menciptakan keadaan yang subur untuk kebencian, iri hati dan akhirnya konflik yang memakan banyak korban? Mau sampai kapan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar