Oleh
Reza A.A Wattimena
Dosen
Hubungan Internasional, Universitas Presiden, Cikarang
Anda
mungkin belum sadar, bahwa kita sedang mengalami perang dunia ketiga. Perang
yang terjadi di Suriah adalah perang antar bangsa-bangsa, mulai dari Arab
Saudi, AS, Russia, Iran, sampai dengan Turki.
Kita
tidak sadar akan hal ini, karena konsep kita soal perang dunia amat bersifat
eropasentrik. Artinya, kita hanya memahami perang dunia sebagai perang antar
negara-negara di Eropa yang melibatkan sekutunya.
Kerusakan
dan korban jiwa, akibat perang Suriah, amatlah besar. Dampaknya pun merembet ke
berbagai belahan dunia lainnya.
Di
hadapan begitu banyak konferensi perdamaian internasional,
penelitian-penelitian kajian perdamaian, dan berbagai upaya menjaga perdamaian
lainnya, mengapa kita jatuh lagi ke dalam lubang yang sama, yakni perang dan
kekerasan yang berkepanjangan? Apa yang bisa kita refleksikan dari semua
peristiwa ini?
“Konsep”
Perdamaian
Di
belahan dunia lainnya, tepatnya di kota Berlin, Jerman, seorang biksu Buddhis
duduk bermeditasi. Ia sedang memberikan kuliah tentang perdamaian dunia, namun
tidak dengan kata ataupun konsep, melainkan dengan keheningan.
Tak
beberapa lama, ia membuka mata, dan berkata, “Perdamaian dunia tidaklah
mungkin, dan juga tidak diperlukan.” Apa maksudnya?
Ia
melanjutkan. “Semua orang punya idenya sendiri tentang perdamaian dunia.
Semuanya berpikir, bahwa konsep mereka tentang perdamaian dunia adalah yang
paling benar. Lalu, mereka pun saling berkelahi tentang konsep perdamaian dunia
siapa yang paling benar.”
Selama
perdamaian dunia masih sekedar konsep dan teori, selama itu pula, perdamaian
dunia yang sebenarnya tak akan pernah terwujud. Konsep dan teori tentang
perdamaian dunia seringkali hanya merupakan cerminan dari kepentingan politik
sesaat dari pihak-pihak tertentu.
Jika
bukan konsep, bagaimana kita bisa berbicara dan mewujudkan perdamaian dunia?
Apakah ada jalan lain yang mungkin?
Filsafat,
Agama, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Seluruh ajaran filsafat, agama, ilmu
pengetahuan dan teknologi yang tersebar di berbagai peradaban sebenarnya hanya
memiliki satu tujuan, yakni mewujudkan hidup yang damai dan makmur bagi semua
mahluk di alam semesta ini. Keuntungan ekonomi dan politik hanyalah efek
samping dari kedamaian dan kemakmuran yang tercipta.
Pemikiran
Barat kontemporer juga kental dengan berbagai upaya untuk mewujudkan perdamaian
dunia, mulai dari perwujudan keadilan (John Rawls, Pogge), membentuk komunikasi
bermutu (Habermas, Appel), sampai dengan hubungan baik antar agama (Hans Küng).
Di sisi lain, begitu banyak pertemuan internasional dilakukan untuk membantu
mewujudkan perdamaian dunia.
Namun,
seperti diingatkan seorang biksu di Berlin, selama masih terjebak pada
pendekatan konseptual belaka, kita hanya akan sibuk dengan dengan “konsep”
perdamaian dunia. Perdamaian dunia yang sebenarnya tidak akan pernah terwujud.
Melampaui
“Konsep” Perdamaian Dunia
Di
titik ini, kita bisa belajar dari pendekatan Yogis dari tradisi Hinduisme
India. Di dalam tradisi ini, setiap manusia memiliki empat jenis kecerdasan,
yakni akal budi, identitas, ingatan dan kebijaksanaan. (Sadhguru, 2016)
Akal
budi adalah bagian dari kecerdasan
manusia yang berperan untuk memahami alam semesta, demi kepentingan pelestarian
diri manusia. Konsep dan teori lahir dari akal budi manusia ini.
Ini
amat diperlukan. Namun, jika kita terpaku pada akal budi saja, kita akan
tersesat, dan justru merusak diri kita sendiri, dan alam yang melingkupinya.
Inilah yang kiranya terjadi sekarang ini.
Identitas adalah jati diri manusia yang selalu melekat dengan
kelompoknya. Di dalam pemikiran Yogis Hinduisme, identitas kelompok adalah
sesuatu yang perlu terus dilampaui, sehingga orang mampu menyadari dirinya
sebagai warga alam semesta.
Perdamaian
dunia hanya mungkin, jika orang mampu melampaui identitas kelompoknya. Orang
lalu bisa melampaui konsep lingkungan sosialnya, dan melihat dirinya sebagai
warga semesta.
Ingatan
adalah kumpulan dari pengalaman kita
yang sudah dicampurkan dengan tafsiran pribadi kita. Seluruh jati diri kita,
pada dasarnya, adalah kumpulan dari ingatan.
Namun,
ingatan tidak pernah mutlak. Ia selalu bersifat subyektif, dan dapat dengan
mudah berubah, ketika keadaan berubah.
Melampaui
konsep berarti orang masuk ke ranah keempat, yakni ranah kebijaksanaan.
Ini adalah ruang hening tempat segala sesuatu di dalam pikiran manusia muncul
dan kemudian berakhir.
Ruang
hening ini selalu ada sebagai latar belakang dari semua pikiran dan emosi yang
kita alami. Ia bersifat luas dan menenangkan.
Ia
adalah ruang hening tanpa batas yang bersifat murni. Ketika orang bisa berada
di ruang ini, ia bisa menghayati kebijaksanaan yang sudah selalu berada di
dalam dirinya.
Di
dalam ruang hening ini, orang akan menemukan kedamaian hati. Orang yang damai
hatinya tidak akan menyakiti orang lain. Inilah unsur terdasar dari perdamaian
dunia.
Perdamaian
Dunia
Konsep
dan teori tentang perdamaian dunia amatlah diperlukan, sehingga kita memiliki
arah bersama, kemana kita akan menuju. Namun, pada dirinya sendiri, ia tidaklah
mencukupi.
Menambahkan
argumen Hans Küng tentang perdamaian dunia, perdamaian dunia hanya mungkin,
jika setiap orang menemukan kedamaian di dalam hatinya masing-masing. Kedamaian
di dalam hati hanya mungkin, jika orang bisa menghayati ruang hening di dalam
hatinya masing-masing.
Ruang
hening ini berada sebelum segala konsep, bahasa dan teori. Ia bahkan ada,
sebelum segala pikiran dan emosi.
Perdamaian
dunia tidak akan pernah tercipta, jika orang melupakan ruang hening yang selalu
ada di dalam hatinya. Inilah salah satu pelajaran terpenting dalam hidup kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar