Siapakah manusia? Dari mana asalnya?
Di mana kedudukan dan fungsi manusia? Lalu apa tujuan manusia? Beberapa
pertanyaan itu tidak akan usang dipertanyakan sepanjang jaman apabila membahas
topik manusia.
Dalam ilmu mantiq (logika) manusia
disebut sebagai Al-Insanu hayawanun nathiq (manusia adalah binatang yang
berfikir). Nathiq sama dengan berkata-kata dan mengeluarkan pendapatnya berdasarkan
pikirannya. Sebagai binatang yang berpikir manusia berbeda dengan hewan. Walau
pada dasarnya fungsi tubuh dan fisiologis manusia tidak berbeda dengan hewan,
namun hewan lebih mengandalkan fungsi-fungsi kebinatangannya, yaitu naluri,
pola-pola tingkah laku yang khas, yang pada gilirannya fungsi kebinatangan juga
ditentukan oleh struktur susunan syaraf bawaan. Semakin tinggi tingkat
perkembangan binatang, semakin fleksibel pola-pola tindakannya dan semakin
kurang lengkap penyesuaian struktural yang harus dilakukan pada saat lahirnya.
Pada primata yang lebih tinggi
(bangsa monyet) bahkan dapat ditemukan intelegensi yaitu penggunaan pikiran
guna mencapai tujuan yang diinginkan sehingga memungkinkan binatang untuk
melampaui pola-pola kelakuan yang telah digariskan secara naluri. Namun
setinggi-tingginya perkembangan binatang, elemen-elemen dasar eksistensinya
yang tertentu masih tetap sama.
Manusia menyadari bahwa dirinya
sangat berbeda dari binatang apa pun. Tetapi memahami siapa sebenarnya manusia
itu bukan persoalan yang mudah. Ini terbukti dari pembahasan manusia tentang
dirinya sendiri yang telah berlangsung demikian lama. Barangkali sejak manusia
diberi kemampuan berpikir secara sistematik, pertanyaan tentang siapakah
dirinya itu mulai timbul. Namun informasi secara tertulis tentang hal ini baru
terlacak pada masa Para pemikir kuno Romawi yang konon dimulai dari Thales
(abad 6 SM).
Berikut pandangan filsafat terhadap
manusia dari beberapa sudut pandang yakni dari:
1.
Teori
descendensi, Teori ini meletakkan manusia sejajar dengan hewan berdasarkan
sebab mekanis. Artinya manusia tidaklah jauh berbeda dengan hewan, dimana
manusia termasuk hewan yang berfikir, melakukan segala aktivitas hidupnya,
manusia juga tidak beda dengan binatang yang menyusui.
Beberapa ahli filsafat berbeda
pemikiran dalam mendefinisikan manusia. Manusia adalah makhluk yang concerned
(menaruh minat yang besar) terhadap hal-hal yang berhubungan dengannya,
sehingga tidak ada henti-hentinya selalu bertanya dan berpikir.
Aristoteles (384-322 SM), seorang
filosof besar Yunani mengemukakan bahwa manusia adalah hewan yang berakal
sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan
akal-pikirannya. Juga manusia adalah hewan yang berpolitik (zoonpoliticon,
political animal), hewan yang membangun masyarakat di atas famili-famili
menjadi pengelompokkan yang impersonal dari pada kampung dan negara. Manusia
berpolitik karena ia mempunyai bahasa yang memungkinkan ia berkomunikasi dengan
yang lain. Dan didalam masyarakat manusia mengenal adanya keadilan dan tata
tertib yang harus dipatuhi. Ini berbeda dengan binatang yang tidak pernah
berusaha memikirkan suatu cita keadilan.
Berdasarkan Thomas Hobbes, Homo
homini lupus artinya manusia yang satu serigala manusia yang lainnya
(berdasarkan sifat dan tabiat) Nafsu yang paling kuat dari manusia adalah nafsu
untuk mempertahankan diri, atau dengan kata lain, ketakutan akan kehilangan
nyawa.
Menurut Nietsche, bahwa manusia sebagai
binatang kekurangan (a shortage animal). Selain itu juga menyatakan bahwa
manusia sebagai binatang yang tidak pernah selesai atau tak pernah puas ( das
rucht festgestelte tier ). Artinya manusia tidak pernah merasa puas dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Menurut Julien, bahwa manusia
manusia tak ada bedanya dengan hewan karena manusia merupakan suatu mesin yang
terus bekerja ( de lamittezie). Artinya bahwa dari aktivitas manusia dimulai
bangun tidur sampai ia tidur kembali manusia tidak berhenti untuk beraktivitas.
Menurut Ernest Haeskel, bahwa
manusia merupakan (animalisme), tak ada sanksi bahwa segala hal manusia
sungguh-sungguh ialah binatang beruas tulang belakang yakni hewan menyusui.
Artinya bahwa tidak diragukan lagi manusia adalah sejajar dengan hewan yang
menyusui.
Menurut Adi Negara bahwa alam kecil
sebagian alam besar yang ada di atas bumi. Sebagian dari makhluk yang bernyawa,
sebagian dari bangsa antropomoker, binatang yang menyusui, akan tetapi makhluk
yang mengetahui keadaan alamnya, yang mengetahui dan dapat menguasai kekuatan
alam di luar dan di dalam dirinya (lahir dan batin).
2.
Metafisika,
adalah teori yang memandang keberadaan sesuatu dibalik atau di belakang fisik.
Dalam teori ini manusia dipandang dari dua hal yakni:
a. Fisik, yang terdiri dari zat.
Artinya bahwa manusia tercipta terdiri dari beberapa sel, yang dapat di indera
dengan panca indera.
b. Ruh, manusia identik dengan jiwa
yang mencakup imajinasi, gagasan, perasaan dan penghayatan semua itu tidak
dapat diindera dengan panca indera.
3.
Psikomatik,
memandang manusia hanya terdiri atas jasad yang memiliki kebutuhan untuk
menjaga keberlangsungannya artinya manusia memerlukan kebutuhan primer
(sandang, pangan dan papan) untuk keberlangsungan hidupnya.
Manusia terdiri dari sel yang
memerlukan materi cenderung bersifat duniawi yang diatur oleh nilai-nilai ekonomi
(dinilai dengan harta / uang) artinya manusia memerlukan kebutuhan duniawi yang
harus dipenuhi, apabila kebutuhan tersebut sudah terpenuhi maka mereka akan
merasa puas terhadap pencapaiannya.
Manusia juga terdiri dari ruh yang
memerlukan nilai spiritual yang diatur oleh nilai keagamaan (pahala). Dalam
menjalani kehidupan duniawi manusia membutuhkan ajaran agama, melalui ceramah
keagamaan untuk memenuhi kebutuhan rohaninya. Dalam hal ini manusia ingin
menjadi manusia yang paling sempurna. Untuk menjadi manusia sempurna haruslah
memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
a. Rasionalitas
b. Kesadaran
c. Akal budi
d. Spiritualitas
e. Moralitas
f. Sosialitas
g. Keselarasan dengan alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar