Sepulang
ke tanah air, saya mencoba memikirkan ulang, apa peran filsafat bagi
perkembangan kehidupan manusia sekarang ini. Memasuki kota Jakarta, suasana
rumit sudah mulai terasa. Begitu banyak orang sibuk dengan beragam aktivitas,
mulai dari berjualan rokok sampai dengan sekedar duduk menunggu untuk menjemput
keluarga tercinta. Kerumitan ini berbuah kemacetan lalu lintas, terutama ketika
orang pergi dan pulang dari tempat kerja.
Apa peran
filsafat untuk mereka? Itu pertanyaan kecil saya. Apa yang bisa saya sumbangkan
melalui filsafat yang saya pelajari di tanah asing dengan harga darah dan air
mata? Atau mungkin, pendekatannya bisa sedikit dibalik, mengapa orang-orang
ini, dan saya, “tidak perlu” belajar filsafat?
Filsafat
Tidak Perlu, Jika…
Beberapa
ide tercetus di kepala. Kita tidak perlu belajar filsafat, jika kita ingin
hidup ikut arus. Kita tidak perlu belajar filsafat, jika kita mau sekedar
mengikuti kebiasaan lingkungan sosial kita. Ketika mereka berlari, kita
berlari, walaupun arah lari tersebut menuju jurang penuh nestapa, baik dalam
bentuk kehancuran diri kita, walaupun kehancuran alam.
Kita juga
tidak perlu filsafat, jika kita ingin ditipu. Ditipu oleh siapa? Oleh beragam
pihak, yakni mulai dari iklan bujuk rayu penuh kepalsuan, sampai dengan
politikus busuk tanpa kesadaran politik yang sekedar butuh suara di dalam
pemilihan umum. Kita juga tidak perlu mendalami filsafat, jika kita ingin diadu
domba satu sama lain oleh kepentingan dan kekuasaan di balik layar.
Filsafat
juga tidak diperlukan, ketika kita menikmati hidup dalam irasionalitas.
Artinya, kita tidak perlu belajar filsafat, jika kita tidak perlu memahami
rantai sebab akibat yang membentuk hidup kita sekarang ini. Ini juga berarti,
kita hidup dalam kebodohan. Kita melempar kesalahan ke orang lain atau justru
kepada Tuhan, dan lupa berkaca untuk melihat ke dalam diri kita sendiri.
Kita tidak
perlu belajar filsafat, jika kita senang berpikir kacau balau. Artinya, kita
berpikir tanpa hubungan logis yang jelas, serta dengan mudah menarik kesimpulan
yang salah. Jika pikiran kita kacau, tindakan kita pun juga kacau. Beragam
masalah yang kita hadapi justru menjadi besar, dan melahirkan masalah-masalah
baru.
Untuk orang
yang menikmati kekacauan seperti ini, filsafat jelas tidak diperlukan.
Lintas
Tradisi
Namun,
filsafat yang hanya menekankan pemikiran belaka juga berbahaya. Kita akhirnya
tidak bisa membedakan, mana kenyataan yang sebenarnya, dan mana yang merupakan
ciptaan dari pikiran kita. Kita sibuk dengan konsep, dan lupa kembali ke
kenyataan yang sejatinya tanpa nama dan tanpa konsep. Jika ini terjadi, kita
hidup dalam penderitaan, dan akhirnya membuat orang lain juga menderita.
Oleh
karena itu, kita juga perlu belajar jalan pembebasan di tradisi Timur, yakni
filsafat Zen. Zen membebaskan kita dari beragam konsep yang mengepung kepala
kita. Zen mengajak kita melihat kenyataan apa adanya, sebelum kenyataan
tersebut dibungkus oleh konsep, penilaian dan analisis yang dibuat pikiran
kita. Namun, jika kita senang hidup dalam ilusi yang berbuah penderitaan, Zen
juga tidak diperlukan.
Percikan
pikiran ini lahir dari persentuhan saya dengan kehidupan masyarakat Indonesia.
Ia juga lahir dari upaya saya untuk memahami, siapa diri saya sebenarnya, tidak
hanya dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia, tetapi juga sebagai warga
semesta yang meliputi jutaan jenis mahluk hidup maupun benda-benda angkasa
lainnya. Percikan pikiran ini juga lahir dari dorongan batin untuk mencapai
pencerahan, baik bagi diri saya maupun bagi semua mahluk hidup. Jika anda tidak
membutuhkan pencerahan dan kejernihan di dalam hidup anda, anda bisa melupakan
tulisan ini.
Anda tidak
perlu filsafat…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar