Minggu, 25 Desember 2016

Filsafat dan Kemandirian Berpikir



Kepalanya botak. Sisa rambutnya sudah putih semua. Sorot matanya tajam. Suaranya berwibawa, dan ia berbicara secara perlahan, sambil menyusun konsep-konsep yang tercecer di dalam pikirannya.
Namanya adalah Godehard Brüntrup. Ia adalah Professor Filsafat di Universitas Filsafat München, Jerman. Ia sedang diwawancarai oleh salah satu stasiun televisi Jerman. Temanya adalah soal peran filsafat untuk perkembangan pendidikan di Jerman dewasa ini.

Dengan tegas dan jelas, Brüntrup menjelaskan, bahwa tugas filsafat bukanlah mengajarkan orang untuk hidup sesuai dengan aliran berpikir tertentu. Filsafat memberikan kemandirian berpikir kepada orang, sehingga ia bisa menilai semua aliran berpikir yang ada secara kritis, rasional dan sistematis. Pada akhirnya, ia lalu bisa mengembangkan pandangan hidupnya sendiri yang cocok untuknya. Saya tertegun, ketika mendengar penjelasan tersebut.
Kemandirian
Sudah lama saya gelisah dengan pola pendidikan filsafat di Indonesia dan Jerman. Filsafat dipersempit semata ke dalam satu aliran tertentu yang diajarkan kepada mahasiswa untuk dianut. Ini mirip proses cuci otak. Yang tercipta kemudian adalah manusia-manusia yang sempit dan fanatik pada satu aliran berpikir tertentu.
Keadaan ini dipersulit dengan gerak informasi dan komunikasi yang begitu cepat dewasa ini. Setiap detik, kepala kita dihantam dengan beragam pengetahuan baru. Tidak semuanya benar, dan tidak semuanya membantu kehidupan kita. Banyak diantaranya justru mengantarkan kita pada kebencian dan perpecahan antara satu sama lain.
Orang dengan mudah tergelincir pada penipuan dan fitnah. Orang juga dengan mudah terjatuh pada fanatisme buta pada satu aliran berpikir tertentu. Di titik inilah peran filsafat menjadi sungguh jelas. Ia membantu orang untuk secara kritis, rasional dan sistematis menilai beragam informasi serta aliran berpikir yang ada.
Pandangan Hidup
Dari proses ini, orang lalu bisa membangun pandangan hidupnya sendiri dari proses refleksi yang luas dan mendalam atas beragam aliran berpikir yang sudah ada. Ia bisa memberikan pendasaran pada pandangan hidupnya tersebut. Dan ia juga siap berubah, ketika memang harus berubah. Pandangan hidupnya menjadi begitu lentur, sehingga lalu bisa menanggapi beragam keadaan yang terjadi secara tepat dan jernih.
Filsafat yang hanya mengajarkan satu aliran berpikir tertentu tidak bisa disebut sebagai filsafat. Itu adalah ideologi, dan ideologi adalah kekerasan berpikir yang menjadi sumber dari segala permasalahan dan penderitaan di muka bumi ini. Ia tidak dapat dikritik dan tidak dapat dijelaskan secara rasional kepada orang lain. Ia menjadi penjara yang memisahkan orang dari kebijaksanaan.
Selesai mendengar uraian dari Brüntrup, saya mencoba melihat diri saya sendiri. Apakah saya terjatuh pada fanatisme pada satu aliran berpikir tertentu? Apakah saya sudah bisa membangun pandangan hidup saya sendiri yang bisa dipertanggungjawabkan? Setelah 15 tahun menggeluti dunia filsafat secara mendalam, saya merasa seperti kembali ke titik nol.
Titik nol yang bisa saja bukan apa-apa, tetapi juga bisa menjadi awal dari segalanya… kita lihat saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar