Kepalanya
botak. Sisa rambutnya sudah putih semua. Sorot matanya tajam. Suaranya
berwibawa, dan ia berbicara secara perlahan, sambil menyusun konsep-konsep yang
tercecer di dalam pikirannya.
Namanya
adalah Godehard Brüntrup. Ia adalah Professor Filsafat di Universitas Filsafat
München, Jerman. Ia sedang diwawancarai oleh salah satu stasiun televisi
Jerman. Temanya adalah soal peran filsafat untuk perkembangan pendidikan di
Jerman dewasa ini.
Dengan
tegas dan jelas, Brüntrup menjelaskan, bahwa tugas filsafat bukanlah
mengajarkan orang untuk hidup sesuai dengan aliran berpikir tertentu. Filsafat
memberikan kemandirian berpikir kepada orang, sehingga ia bisa menilai semua
aliran berpikir yang ada secara kritis, rasional dan sistematis. Pada akhirnya,
ia lalu bisa mengembangkan pandangan hidupnya sendiri yang cocok untuknya. Saya
tertegun, ketika mendengar penjelasan tersebut.
Kemandirian
Sudah lama
saya gelisah dengan pola pendidikan filsafat di Indonesia dan Jerman. Filsafat
dipersempit semata ke dalam satu aliran tertentu yang diajarkan kepada
mahasiswa untuk dianut. Ini mirip proses cuci otak. Yang tercipta kemudian
adalah manusia-manusia yang sempit dan fanatik pada satu aliran berpikir
tertentu.
Keadaan
ini dipersulit dengan gerak informasi dan komunikasi yang begitu cepat dewasa
ini. Setiap detik, kepala kita dihantam dengan beragam pengetahuan baru. Tidak
semuanya benar, dan tidak semuanya membantu kehidupan kita. Banyak diantaranya
justru mengantarkan kita pada kebencian dan perpecahan antara satu sama lain.
Orang
dengan mudah tergelincir pada penipuan dan fitnah. Orang juga dengan mudah
terjatuh pada fanatisme buta pada satu aliran berpikir tertentu. Di titik
inilah peran filsafat menjadi sungguh jelas. Ia membantu orang untuk secara
kritis, rasional dan sistematis menilai beragam informasi serta aliran berpikir
yang ada.
Pandangan
Hidup
Dari
proses ini, orang lalu bisa membangun pandangan hidupnya sendiri dari proses
refleksi yang luas dan mendalam atas beragam aliran berpikir yang sudah ada. Ia
bisa memberikan pendasaran pada pandangan hidupnya tersebut. Dan ia juga siap
berubah, ketika memang harus berubah. Pandangan hidupnya menjadi begitu lentur,
sehingga lalu bisa menanggapi beragam keadaan yang terjadi secara tepat dan
jernih.
Filsafat
yang hanya mengajarkan satu aliran berpikir tertentu tidak bisa disebut sebagai
filsafat. Itu adalah ideologi, dan ideologi adalah kekerasan berpikir yang
menjadi sumber dari segala permasalahan dan penderitaan di muka bumi ini. Ia tidak
dapat dikritik dan tidak dapat dijelaskan secara rasional kepada orang lain. Ia
menjadi penjara yang memisahkan orang dari kebijaksanaan.
Selesai
mendengar uraian dari Brüntrup, saya mencoba melihat diri saya sendiri. Apakah
saya terjatuh pada fanatisme pada satu aliran berpikir tertentu? Apakah saya
sudah bisa membangun pandangan hidup saya sendiri yang bisa
dipertanggungjawabkan? Setelah 15 tahun menggeluti dunia filsafat secara
mendalam, saya merasa seperti kembali ke titik nol.
Titik nol
yang bisa saja bukan apa-apa, tetapi juga bisa menjadi awal dari segalanya…
kita lihat saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar