Aku begitu bahagia ketika dipanggil
sebagai peraih NEM tertinggi di SMA-ku saat itu. Tapi di sisi lain, aku melihat
wajah ibuku yang tak menampakkan sedikitpun rasa bahagia atas prestasi yang
telah kuraih habis-habisan selama 3 tahun ini. Ada apa dengan ibuku?
“Selamat ya anakku, atas prestasi
yang telah kau raih selama ini. Ibu cukup bangga denganmu, anakku sayang”,
tuturnya sangat lembut.
‘Cukup bangga?!?!?’ ini yang membuat
jantungku berdebar hebat, yang membuat otakku berpikir keras, yang membuat
mataku susah terpejam di malam hari. Kenapa koq ‘cukup bangga?’ Kenapa bukan
dengan ‘sangat bangga?’, padahal aku telah mati-matian berusaha untuk
mendapatkan ini semua hanya untuk membuatmu bangga ibuku. Tapi…
***
Alhamdulillah, 10 lamaran pekerjaan
telah kumasukkan ke perusahaan-perusahaan yang membutuhkan tenaga pekerja. Kini
aku tinggal menunggu panggilan dari perusahaan-perusahaan yang telah membuka
dan membaca serta mempelajari surat lamaranku itu.
Subhanallah, 3 hari dalam masa
penantian, akhirnya tiba juga. Tujuh dari sepuluh perusahaan merespon surat
lamaranku itu. Aku mendapatkan panggilan untuk tes tulis dan tes wawancara.
Saat itu hatiku mulai galau, perusahaan mana yang akan ku datangi? Semua
memanggil di hari yang sama dan jam yang sama pula. Ya Allah beri aku
petunjukMu.
“Anakku, pakailah ini saat kau
berangkat tes ke perusahaan yang engkau inginkan”, senyum itu sangat luar biasa
untukku. Yah, senyuman ini yang membuat galauku mulai memudar. Senyuman ini
yang sangat kurindukan bertahun-tahun lamanya. Sebuah jilbab biru dongker
beliau sodorkan kepadaku.
“Jangan kau gadaikan prinsipmu,
anakku!!! Insya Allah, Allah akan selalu bersamamu”. Nyess…luluh sudah hati
ini, berlinanglah airmata di kedua mataku. Ibuku oh ibu…
Berangkatlah aku menuju perusahaan
yang sangat aku idamkan. Gaji besar, fasilitas terpenuhi, libur Sabtu-Minggu
plus libur hari besar dan pekerjaan yang tak membutuhkan tenaga terlalu banyak.
Aku tak menghiraukan 6 panggilan tes perusahaan yang lainnya. Alhamdulillah tes
tulis lolos, tes wawancara exellent, tapi ada satu hal yang sangat mengujiku
saat itu.
“Apakah anda berjilbab?”, HRD mulai
menanyaiku selepas tes wawancara.
“Kenapa bu dengan jilbab saya?
Apakah jilbab ini sangat mengganggu di perusahaan ini?”, tanyaku balik.
“Aturan di perusahaan ini adalah
tidak diperkenankan seorang wanita memakai jilbab. Bagaimana?”, tanyanya dengan
mimik yang sangat serius.
“Saya lihat, tes tulis anda sangat
luar biasa. Begitupun dengan tes wawancara, tidak diragukan lagi. Anda
berpeluang untuk menempati asisten Kepala Bagian produksi di perusahaan ini”,
kepalaku mulai cenat-cenut saat itu.
“Apakah tidak ada jalan lain bu
untuk solusi dari jilbab ini? Mungkin jilbab ini dimasukkan dalam pakaianku
atau…”.
“Maaf mbak, aturan tetaplah aturan!
Kami tidak berani menanggung resiko, apabila terjadi kecelakaan hanya gara-gara
sepotong jilbab, apalagi anda berada di bagian produksi”.
Aku berpikir dalam-dalam. Disatu
sisi, perusahaan ini adalah idaman semua orang, termasuk aku. Di sisi lain,
akankah kugadaikan jilbabku ini?!?! Ya Robb, bantulah hambaMu ini.
Subhanallah, saat itu juga aku
teringat kata-kata ibuku. “Jangan kau gadaikan prinsipmu, anakku!!!”. Ibu
maafkan aku apabila keputusan ini tidak membuatmu bangga dan maafkan aku
apabila keputusan ini tidak membuatmu bahagia ibu. Ku tarik nafas dalam-dalam
dan Bismillah, dengan tegas kukatakan kepada bu HRD, “Terima kasih saya
sampaikan atas tawaran, apresiasi dan juga respon yang luar biasa dari ibu dan
perusahaan ini kepada saya. Saya sungguh menyesal, karena keputusan yang akan
saya sampaikan ini. Saya memutuskan untuk memilih mengundurkan diri dari
perusahaan ini. Saya mohon maaf apabila ada tutur kata yang kurang berkenan di
hati ibu. Sekali lagi saya sampaikan terima kasih banyak atas semuanya”, dengan
mantap kutinggalkan ruangan itu sambil tersenyum lega. Allahu Akbar…
***
Sahabatku, tahukah kalian, apa yang
terjadi setelah itu? Aku menangis dalam dekapan ibu. Aku terisak dalam
tangisku, karena menyesal tidak menyanggupi dan tak mampu membahagiakan sang
Ibu, orangtua satu-satunya yang kumiliki saat ini. Tapi, di balik itu semua,
Ibu ‘sangat bangga’ dengan keputusan yang kuambil. Keputusan yang sangat tepat
dan sangat luar biasa. Inilah awal aku membuatnya bangga dan bahagia. Meskipun
setelah itu, aku bekerja sebagai pegawai biasa dalam sebuah koperasi yang
gajinya sangat minim sekali. Alhamdulillah, sekarang aku sudah mendapatkan
pekerjaan yang sangat istimewa. Ini semua karena do’a tulus darimu ibuku dan ini
sebuah karena ridhomu. Terima kasih ibuku, I love U so much.
Sahabatku, Ridho Allah tergantung
pada ridho orangtua dan murka Allah tergantung pada murka orangtua. Andai saat
itu aku tetap memilih untuk menerima pekerjaan dan tak mempedulikan jilbab
pemberian ibuku, mungkin aku tak akan mendapatkan karuniaNya. Mungkin saat ini,
hidayah tak kunjung datang menghampiriku. Atau mungkin aku akan selalu
membuatnya ‘cukup bangga’ denganku. Andai saat itu aku tak mempedulikan pesan
ibuku untuk selalu menjaga prinsip ini, pastilah aku sudah jadi anak durhaka
saat ini, Na’udzubillah..
Sahabatku, akankah kita gadaikan
prinsip ini hanya demi mengejar kesenangan di dunia? Akankah kita jual prinsip
ini hanya dengan lembaran-lembaran uang yang tak sedikitpun mendapat ridhoNya?
Atau akankah kita tukar amanah seorang ibu dengan jabatan yang sementara dan
tak berarti di hadapanNya? Jangan kau gadaikan prinsipmu!!! Kapanpun dan
dimanapun aku akan tetap berjuang untuk mempertahankan prinsip ini, ibuku,
meski darah harus mengucur dari tubuhku atau nyawa harus melayang. Aku akan
tetap memegang kata-katamu dan berusaha semaksimal mungkin untuk
mempertahankannya.
“Jangan kau gadaikan prinsipmu, Anakku!!! [Heny Rizani. Spesial untukmu, Ibu]
(Sumber: Jjilbabindonesia.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar