Jumat, 23 Desember 2016

Serambi Madinah



Mengapa ada yang menyebut Banten sebagai serambi Madinah? Mungkin julukan yang berlebihan, karena Demak, Kudus, Cirebon (untuk menyebut beberapa nama), adalah kota-kota yang menjadi tempat persinggahan para wali. Tetapi mungkin sebutan itu sesuai jika dipandang dari kegiatan masyarakatnya yang berorientasi pada kehidupan pesantren. Seperti kota Jombang, Banten memiliki banyak sekali pondok pesantren.

Banten telah menjadi provinsi (terpisah dengan Jawa Barat sejak 2-3 tahun yang lalu) dengan ibukota Serang. Provinsi yang mengandalkan kekuatan industri (mulai dari Cilegon sampai Tangerang) memang tidak serta-merta tumbuh dengan lesat. Wilayah Serpong dan Karawaci berangkat sebagai kawasan modern karena sejak awal direncanakan menjadi kota satelit yang tak hendak bergantung kepada Jakarta. Beruntung Banten memiliki tempat itu, karena distrik-distrik yang lain masih kuat dengan aroma kampung dan nilai-nilai tradisional. Kelebihannya, corak kehidupan pesantren dan kekuatan mistik tidak serentak hilang, justru terpelihara dengan baik.
Bicara tentang kesenian tradisional, debus misalnya, tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat agamis Banten. Sebagaimana wilayah-wilayah lain yang kuat dengan unsur Islam selalu ada sisi magis yang menjadi pembuktian adanya kekuatan tak tampak dari yang kita percayai. Hal-hal gaib, bersifat transendental, dan berfungsi sebagai kharisma bagi orang-orang yang disegani, sangat menonjol di Banten. Istilah ”pendekar” terdengar lumrah di kalangan orang Banten. Dulu, orang-orang Banten cukup “ditakuti” jika dikaitkan dengan ilmu-ilmu yang tak kasat mata.
“Tapi debus tak bisa main di Cirebon,” ujar seorang teman karib asal Cirebon.
“Apa pasal?” tanya saya.
“Kualat nanti, di sini kan rumah bapaknya...”
Ini pembicaraan bercanda, tentu. Atau boleh dipercaya?
Sunan Gunung Jati, salah satu wali sanga, adalah ayahanda Sultan Maulana Hasanuddin, yang mendirikan Masjid Agung Banten. Itu berlangsung sekitar tahun 1560-1570, atau empat abad yang lalu. Sultan Maulana Hasanuddin ini kemudian dikenal dengan nama Sultan Banten.
Masjid itu kini masih berdiri kokoh dan terawat, menjadi ikon kota Banten lama, dan menjadi alamat ziarah bagi orang-orang yang datang dari jauh. Di sisi utara masjid tertanam jasad keluarga Sultan Banten. Makam Sultan Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin terletak di serambi kanan. Untuk kaum aulia itulah mereka datang dan memanjatkan doa. Terutama menjelang Ramadan dan seusai Lebaran.
Masjid itu memiliki tangga dengan relung yang menyerupai goa, pengaruh desain dari seorang arsitek Mongolia bernama Cek Ban Cut. Menara masjid yang bersegi-segi mirip pagoda dengan ketinggian sekitar 30 meter dan bergaris tengah 10 meter itu dulu sempat berfungsi sebagai “mercu suar” untuk mengawasi pantai. Menara yang menjadi tempat berkumandangnya azan itu dibangun tahun 1620, di masa kekuasaan Sultan Haji, atas dasar rancangan arsitek Belanda bernama Hendrik Lucazoon Cardeel. Arsitek yang condong ke Kesultanan Banten itu, mengkhianati bangsanya yang menjajah, dianugerahi gelar Pangeran Wiraguna.
Ada bangunan di sisi selatan masjid yang disebut Tiyamah. Bangunan dengan bentuk segi empat bertingkat itu juga dirancang oleh Cardeel. Dulunya digunakan sebagai tempat musyawarah para alim ulama mengenai peran agama dalam politik dan kebudayaan atau sebaliknya, politik yang berdasarkan Islam. Secara menyeluruh, arsitektur Masjid Agung Banten memadukan langgam Belanda dan Tionghoa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar