Mengapa ada yang menyebut Banten sebagai serambi Madinah?
Mungkin julukan yang berlebihan, karena Demak, Kudus, Cirebon (untuk menyebut
beberapa nama), adalah kota-kota yang menjadi tempat
persinggahan para wali. Tetapi mungkin sebutan itu sesuai jika dipandang dari
kegiatan masyarakatnya yang berorientasi pada kehidupan pesantren. Seperti kota
Jombang, Banten memiliki banyak sekali pondok pesantren.
Banten telah menjadi provinsi (terpisah dengan Jawa Barat
sejak 2-3 tahun yang lalu) dengan ibukota Serang. Provinsi yang mengandalkan
kekuatan industri (mulai dari Cilegon sampai Tangerang) memang tidak
serta-merta tumbuh dengan lesat. Wilayah Serpong dan Karawaci berangkat sebagai
kawasan modern karena sejak awal direncanakan menjadi kota satelit yang tak
hendak bergantung kepada Jakarta. Beruntung Banten memiliki tempat
itu, karena distrik-distrik yang lain masih kuat dengan aroma kampung dan
nilai-nilai tradisional. Kelebihannya, corak kehidupan pesantren dan kekuatan
mistik tidak serentak hilang, justru terpelihara dengan baik.
Bicara tentang kesenian tradisional, debus misalnya, tak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat agamis Banten. Sebagaimana wilayah-wilayah
lain yang kuat dengan unsur Islam selalu ada sisi magis yang menjadi pembuktian
adanya kekuatan tak tampak dari yang kita percayai. Hal-hal gaib, bersifat
transendental, dan berfungsi sebagai kharisma bagi orang-orang yang disegani,
sangat menonjol di Banten. Istilah ”pendekar” terdengar lumrah di kalangan
orang Banten. Dulu, orang-orang Banten cukup “ditakuti” jika dikaitkan dengan
ilmu-ilmu yang tak kasat mata.
“Tapi debus tak
bisa main di Cirebon,” ujar seorang teman karib asal Cirebon.
“Apa pasal?” tanya saya.
“Kualat nanti, di sini kan rumah bapaknya...”
Ini pembicaraan bercanda, tentu. Atau boleh dipercaya?
Sunan Gunung Jati, salah satu wali sanga, adalah ayahanda
Sultan Maulana Hasanuddin, yang mendirikan Masjid Agung Banten. Itu berlangsung
sekitar tahun 1560-1570, atau empat abad yang
lalu. Sultan Maulana Hasanuddin ini kemudian
dikenal dengan nama Sultan Banten.
Masjid itu kini masih berdiri kokoh dan terawat, menjadi
ikon kota Banten lama, dan menjadi alamat ziarah bagi orang-orang yang datang
dari jauh. Di sisi utara masjid tertanam jasad keluarga Sultan Banten. Makam
Sultan Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin terletak di serambi kanan.
Untuk kaum aulia itulah mereka datang dan memanjatkan doa. Terutama menjelang
Ramadan dan seusai Lebaran.
Masjid itu memiliki tangga dengan relung yang menyerupai
goa, pengaruh desain dari seorang arsitek Mongolia bernama Cek Ban Cut. Menara
masjid yang bersegi-segi mirip pagoda dengan ketinggian sekitar 30 meter dan
bergaris tengah 10 meter itu dulu sempat
berfungsi sebagai “mercu suar” untuk mengawasi pantai. Menara yang menjadi tempat
berkumandangnya azan itu dibangun tahun 1620, di masa kekuasaan Sultan Haji,
atas dasar rancangan arsitek Belanda bernama Hendrik Lucazoon Cardeel. Arsitek
yang condong ke Kesultanan Banten itu, mengkhianati bangsanya yang menjajah, dianugerahi
gelar Pangeran Wiraguna.
Ada bangunan di sisi selatan masjid yang disebut Tiyamah.
Bangunan dengan bentuk segi empat bertingkat
itu juga dirancang oleh Cardeel. Dulunya digunakan sebagai tempat
musyawarah para alim ulama mengenai peran agama dalam politik dan kebudayaan
atau sebaliknya, politik yang berdasarkan Islam. Secara menyeluruh, arsitektur
Masjid Agung Banten memadukan langgam Belanda dan Tionghoa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar