Banyak orang mengira, bahwa tingkat pendidikan seseorang
langsung terkait dengan perkembangan tingkat ekonominya. Artinya, semakin
tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar kemungkinannya untuk
menjadi kaya. Anggapan ini tersebar begitu luas dan tertanam begitu dalam di
berbagai masyarakat di dunia. Anggapan ini juga menjadi dasar dari begitu
banyak kebijakan pendidikan di berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia.
Penelitian Terbaru
Berbagai
penelitian terbaru di Jerman dan Austria juga mendukung anggapan ini. Ludger
Wössmann menulis artikel berdasarkan penelitiannya dengan judul Gute Bildung
schafft wirtschaftlichen Wohlstand: Bildung aus bildungsökonomischer
Perspektive (2012). Ia menegaskan, bahwa pendidikan yang tepat akan
mendorong seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang bermutu untuk
mengembangkan hidupnya. Namun, ia juga mengingatkan, bahwa pendidikan yang
terpaku pada aspek ekonomi belaka justru akan mengurangi daya saing seseorang
di pasar tenaga kerja.
Hasil
penelitian Wössmann ini ditunjang oleh penelitian serupa yang dibuat di Austria
dengan judul Bildung 2025 – Die Rolle von Bildung in der österreichischen
Wirtschaft (2015). Pendidikan yang murah dan bermutu akan meningkatkan
kualitas tenaga kerja, dan akhirnya juga akan mendorong perkembangan ekonomi
keseluruhan. Namun, yang dibutuhkan adalah pendidikan yang bersifat lintas ilmu
dan lintas budaya. Pendidikan semacam itu tidak hanya akan menghasilkan
manusia-manusia yang terampil bekerja, tetapi juga kreatif di dalam menemukan
ide-ide baru untuk mengembangkan diri dan masyarakatnya.
Penelitian
yang dibuat di dalam OECD-Studie (Organisation for Economic
Cooperation and Development- terdiri dari 34 negara) (2013) juga memberikan
kesimpulan yang sama. Kualitas pendidikan yang baik serta terjangkau mendorong
tingkat ekonomi suatu negara. Tidak hanya itu, pendidikan yang terjangkau dan
bermutu juga mendorong daya tahan suatu negara, ketika krisis melanda. Model
Jerman, dengan pemisahan antara pendidikan universitas yang teoritik-abstrak
dan pendidikan Ausbildung yang berfokus langsung pada keterampilan
kerja, menjadi model yang layak dijadikan contoh bagi negara-negara lain.
Ketiga
penelitian yang saya kutip di atas juga menegaskan, bahwa pendidikan haruslah
mengambil bentuk campuran (Mix-Qualifikationen). Ia tidak boleh hanya
mengajarkan satu hal semata secara dogmatis. Di samping itu, ia juga harus
terjangkau oleh rakyat banyak. Negara harus mencari cara untuk memberikan
subsidi bagi lembaga-lembaga pendidikan, sehingga ia terjangkau oleh seluruh
rakyat, dan jika perlu bebas biaya sama sekali.
Pendidikan yang Memperbodoh
Pendidikan
yang hanya berfokus pada satu hal saja justru menghancurkan tujuan pendidikan
itu sama sekali. Dengan kata lain, pendidikan semacam itu hanya memperbodoh
peserta didik. Di banyak negara, juga di Indonesia, banyak lembaga pendidikan
berfokus semata pada pendidikan ekonomi. Model pendidikan yang hanya terpaku
pada pendidikan ekonomi sempit semata justru akan menghancurkan dunia
pendidikan itu sendiri, dan memperlambat kemajuan ekonomi, atau bahkan justru
merusaknya.
Argumen
tersebut ditopang oleh dua penelitian yang dilakukan oleh Julian Nida-Rümelin
di dalam bukunya yang berjudul Philosophie einer Humanen Bildung (2013)
dan Ha-Joon Chang di dalam bukunya yang berjudul 23 Things They Don’t Tell
You About Capitalism (2011). Kedua penelitian ini sampai pada kesimpulan,
bahwa pendidikan lebih luas dari sekedar pengembangan ekonomi belaka.
Pendidikan yang sejati mendorong orang untuk menjadi warga negara yang baik di
dalam masyarakat demokratis. Model pendidikan semacam ini tidak hanya
menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas untuk kemajuan ekonomi, tetapi
juga manusia-manusia yang bisa secara aktif dan kreatif terlibat dalam
pengembangan kehidupan masyarakat secara keseluruhan di berbagai bidangnya,
mulai dari seni, budaya, sampai dengan politik.
Di Indonesia,
kita juga banyak menemukan adanya lembaga-lembaga pendidikan yang fokus pada
nilai-nilai agama semata. Yang diajarkan hanyalah ajaran suatu agama tertentu,
dan menutup mata pada perkembangan di bidang-bidang lainnya. Pendidikan semacam
ini juga memperbodoh, karena ia akan menciptakan manusia-manusia fanatik yang
ketinggalan jaman, dan tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk
mengembangkan diri dan masyarakatnya. Akibatnya, banyak lulusannya terjebak
dalam kemiskinan, dan akhirnya jatuh ke dalam kriminalitas.
Pendidikan
jelas membutuhkan pendidikan ekonomi. Pendidikan juga jelas membutuhkan
nilai-nilai religiositas. Namun, pendidikan yang semata berfokus pada aspek
ekonomi atau nilai-nilai agama tertentu jelas akan menghancurkan pendidikan itu
sendiri. Pendidikan semacam ini justru akan menghancurkan keluhuran nilai-nilai
agama dan mengurangi daya saing ekonomi itu sendiri. Ini adalah pendidikan yang
memperbodoh.
Bukankah
suatu bentuk penyiksaan, jika kita belajar di lembaga pendidikan yang hanya
mengajarkan kita untuk menghafal ajaran agama tertentu secara dogmatis atau
hitung-hitungan ekonomi yang kerap kali tidak akan pernah kita gunakan di dalam
hidup kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar