Epistimologi filsafat membicarakan
tiga hal, yaitu objek filsafat (yaitu yang dipikirkan), cara memperoleh
pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran (pengetahuan) filsafat. Istilah
Epistemologi di dalam bahasa inggris di kenal dengan istilah “Theory of
knowledge”. Epistemologi berasal dari asal kata “episteme” dan ”logos”.
Epistime berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Dalam rumusan yang lebih
rinci di sebutkan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang
mengkaji secara mendalan dan radikal tentang asal mula pengetahuan, structure,
metode, dan validitas pengetahuan.
Di samping itu terdapat beberapa
istilah yang maksudnya sama dengan epistemologi ialah:
- Gnosiologi
- Logikal material
- Criteriologi
Keseluruhan istilah tersebut di atas
di dalam bahasa Indonesia pada umumnya disebut filsafat pengetahuan. Dalam
rumusan lain di sdebutkan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari
soal tentang watak,batas –batas dan berlakunyailmu pengetahuan: demikian
rumusan yang di ajukan oleh J.A.N. Mulder. Sebenarnya banyak ahli filsafat
(filosof) maupun sarjana filsafat yang merumuskan tentang epistemologi atau
filsafat pengetahuan. Apabila keseluruhan rumusan tersebut di renungkan maka
dapat di fahami bahwa prinsipnya epistemologi adalah bagian filsafat yang
membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula
pengetahuan, batas – batas, sifat metode dan keahlian pengetahuan. Oleh karena
itu sistematika penulisan epitemologi adalah terjadinya pengetahuan,teori
kebenaran, metode – metode ilmiah dan aliran – aliran teori pengetahuan.
- a. Terjadinya Pengetahuan
Proses terjadinya pengetahuan
menjadi masalah mendasar dalam epistemologi sebab hal ini akan mewarnai
pemikiran kefilsafatannya. Pandangan yang sederhana dalam memikirkan proses
terjadinya pengetahuan yaitu dalam sifatnya baik a priori maupun a posteriori.
Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui
pengalaman, baik pengalaman indra maupun pengalaman batin. Sedangkan a
posteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Di dalam
mengetahui memerlukan alat yaitu: pengalaman indra (sence experience); nalar
(reason); otoritas (authority); intuisi (intitution); wahyu (revelation); dan
keyakinan (faith). Sepanjang sejarah kefilsafatan alat – alat untuk mengetahui
tersebut memiliki peranan masing – masing baik secara sendiri – sendiri maupun
berpasangan satu sama lain tergantung kepada filosof atau faham yang di
anutnya. Dalam hal ini dapat di lihat bukti – bukti sebagai berikut :
Pengetahuan di dapatkan dari
pengamatan. Di dalam pengamatan indrawi tidak dapat di tetapkan apa yang
subjektif dan apa yang objektif. Jika kesan–kesan subjektif di anggap sebagai
kebenaran, hal itu mengakibatkan adanya gambaran–gambaran yang kacau di dalam
imajinasi. Segala pengetahuan di mulai dengan gambaran–gambaran indrawi.
Gambaran–gambaran itu kemudian di tingkatkan sampai kepada tingkatan–tingkatan
yang lebih tinggi, yaitu pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif. Di
dalam pengetahuan rasional orang hanya mengambil kesimpulan–kesimpulan, tetapi
di dalam pengetahuan intuitif orang memandang kepada idea–idea yang berkaitan
dengan Allah. Disini orang di masukkan ke dalam keharusan ilahi yang kekal.
Demikian menurut Baruch Spinoza sebagai salah seorang tokoh Resiesinalisme.
Pandangan Spinoza agak berbeda dengan pandangan Thomas Hobbes sebagai salah
seorang tokoh empirisme yang hidup pada tahun 1588 -1679. Menurutnya pengenalan
atau pengetahuan di peroleh karena pengalaman. Pengalaman adalah awal segala
pengetahuan. Juga awal pengetahuan tentang asas–asas yang di peroleh dan di
teguhkan oleh pengalaman. Segala ilmu pengetahuan di turunkan dari pengalaman.
Hanya pengalamanlah yang memberi jaminan akan kepastian.
Pengalaman dengan akal hanya
mempunyai fungsi mekanisme semata – mata sebab pengenalan dengan akal
mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan. Pengenalan dengan akal
mukai dengan memakai kata–kata ( pengertian–pengertian), yang hanya mewujudkan
tanda–tanda yang menurut adat saja, dan menjadikan roh manusia dapat memiliki
gambaran dari hal – hal yang di ucapkan dengan kata–kata itu.
Pengertian–pengertian umum hanyalah nama saja, yaitu nama–nama bagi
gambaran–ganbaran ingatan tersebut, bukan nama–nama bendanya. Nama–nama itu
tidak mempunyai nilai objektif. Pendapat atau pertimbangan adalah penggabungan
dua nama, sedang silogisme adalah suatu soal hitung, di mana orang bekerja dengan
tiga nama. Yang di sebut pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas segala
pengamatan, yang di simpan di dalam ingatan dan di tentukan dengan suatu
pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa
yang lampau. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda – benda di luar
kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini di teruskan
kepada otak dan dari otak di teruskan ke jantung. Di dalam jantung timbulah
suatu reaksi suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengmatan yang
sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
Sasaran yang diamati adalah
sifat–sifat inderawi. Penginderaan disebabkan karena tekanan objek atau
sasaran. Kualitas di dalam objek–objek, yang sesuai dengan penginderaan kita,
bergerak menekan indera kita. Warna yang kita lihat, suara yang kita dengar,
bukan berada di dalam objek, melainkan di dalam subjeknya. Sifat sifat inderawi
tidak memberi gambaran tentang sebab yang menimbulkan penginderaan. Ingatan,
rasa senang dan todak senang dan segala gejala jiwani, bersandar semata–mata
pada asosiasi gambaran–gambaran yang murni bersifat mekanis. Sementara itu
salah seorang tokoh empirisme yang lain berpendapat bahwa segala pengetahuan
datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal (rasio) adalah pasif pada
waktu pengetahuan di dapatkan. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya
sendiri. Semula akal serupa dengan secarik kertas yang tanpa tulisan, yang
menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Locke tidak membedakan antara
pengetahuan inderawi dan pengetahuan akalis. Satu – satunya sasaran atau
objek pengetahuan adalah gagasan – gagasan atau ide – ide yang timbulnya karena
pengalaman lahiriah (sensation) dan karena pengalaman bathiniah ( reflection).
Pengalamn lahiriah mengajarkan kepada kita tentang hal – hal yang di luar kita,
sedangkan pengalaman batiniah mengajarkan tentang keadaan – keadaan psikis kita
sendiri. Kedua macam pengalaman ini jalin menjalin. Pengalaman lahiriah
menghasilkan gejala–gejala psikis yang harus di tanggapi oleh pengalaman
batiniah. Objek–objek pengalaman lahiriah itu mula – mula menjadi isi
pengalaman, karena di hisapkan oleh pengalaman bathiniah, artinya objek – objek
itu tampil dalam kesadaran. Dengan demikian menganal adalah identik dengan mengenal
secara sadar. Dalam hal ini Locke sama dengan Descrates. Segala sesuatu yang
berada di luar kita menimbulkan didalam diri kita gagasan – gagasan dari
pengalaman lahiriah. Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang
sebenarnya, yang terdalam. Jika hasil pemikiran itu disusun, maka susunan
itulah yang kita sebut Sistematika Filsafat. Sistematika atau struktur filsafat
dalam garis besar terdiri atas ontologi, epistimologi dan aksiologi. Isi setiap
cabang filsafat ditentukan oleh objek apa yang diteliti (dipikirkan)-nya. Jika
ia memikirkan pendidikan maka jadilah Filsafat Pendidikan. Jika ia memikirkan
hukum maka jadilah Filsafata Hukum, dan lain sebagainya. Inilah objek filsafat.
Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek penelitian sains. Sains hanya
meneliti objek yang ada, sedangkan filsafat meneliti objek yang ada dan mungkin
ada. Sebenarnya masih ada objek lain yang disebut objek forma yang menjelaskan
sifat kemendalaman penelitian filsafat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar