Minggu, 25 Desember 2016

Epistimologi Filsafat



Epistimologi filsafat membicarakan tiga hal, yaitu objek filsafat (yaitu yang dipikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran (pengetahuan) filsafat. Istilah Epistemologi di dalam bahasa inggris di kenal dengan istilah “Theory of knowledge”. Epistemologi berasal dari asal kata “episteme” dan ”logos”. Epistime berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Dalam rumusan yang lebih rinci di sebutkan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalan dan radikal tentang asal mula pengetahuan, structure, metode, dan validitas pengetahuan.

Di samping itu terdapat beberapa istilah yang maksudnya sama dengan epistemologi ialah:
  1. Gnosiologi
  2. Logikal material
  3. Criteriologi
Keseluruhan istilah tersebut di atas di dalam bahasa Indonesia pada umumnya disebut filsafat pengetahuan. Dalam rumusan lain di sdebutkan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari soal tentang watak,batas –batas dan berlakunyailmu pengetahuan: demikian rumusan yang di ajukan oleh J.A.N. Mulder. Sebenarnya banyak ahli filsafat (filosof) maupun sarjana filsafat yang merumuskan tentang epistemologi atau filsafat pengetahuan. Apabila keseluruhan rumusan tersebut di renungkan maka dapat di fahami bahwa prinsipnya epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas – batas, sifat metode dan keahlian pengetahuan. Oleh karena itu sistematika penulisan epitemologi adalah terjadinya pengetahuan,teori kebenaran, metode – metode ilmiah dan aliran – aliran teori pengetahuan.
  1. a.      Terjadinya Pengetahuan
Proses terjadinya pengetahuan menjadi masalah mendasar dalam epistemologi sebab hal ini akan mewarnai pemikiran kefilsafatannya. Pandangan yang sederhana dalam memikirkan proses terjadinya pengetahuan yaitu dalam sifatnya baik a priori maupun a posteriori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indra maupun pengalaman batin. Sedangkan a posteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Di dalam mengetahui memerlukan alat yaitu: pengalaman indra (sence experience); nalar (reason); otoritas (authority); intuisi (intitution); wahyu (revelation); dan keyakinan (faith). Sepanjang sejarah kefilsafatan alat – alat untuk mengetahui tersebut memiliki peranan masing – masing baik secara sendiri – sendiri maupun berpasangan satu sama lain tergantung kepada filosof atau faham yang di anutnya. Dalam hal ini dapat di lihat bukti – bukti sebagai berikut :
Pengetahuan di dapatkan dari pengamatan. Di dalam pengamatan indrawi tidak dapat di tetapkan apa yang subjektif dan apa yang objektif. Jika kesan–kesan subjektif di anggap sebagai kebenaran, hal itu mengakibatkan adanya gambaran–gambaran yang kacau di dalam imajinasi. Segala pengetahuan di mulai dengan gambaran–gambaran indrawi. Gambaran–gambaran itu kemudian di tingkatkan sampai kepada tingkatan–tingkatan yang lebih tinggi, yaitu pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif. Di dalam pengetahuan rasional orang hanya mengambil kesimpulan–kesimpulan, tetapi di dalam pengetahuan intuitif orang memandang kepada idea–idea yang berkaitan dengan Allah. Disini orang di masukkan ke dalam keharusan ilahi yang kekal. Demikian menurut Baruch Spinoza sebagai salah seorang tokoh Resiesinalisme. Pandangan Spinoza agak berbeda dengan pandangan Thomas Hobbes sebagai salah seorang tokoh empirisme yang hidup pada tahun 1588 -1679. Menurutnya pengenalan atau pengetahuan di peroleh karena pengalaman. Pengalaman adalah awal segala pengetahuan. Juga awal pengetahuan tentang asas–asas yang di peroleh dan di teguhkan oleh pengalaman. Segala ilmu pengetahuan di turunkan dari pengalaman. Hanya pengalamanlah yang memberi jaminan akan kepastian.
Pengalaman dengan akal hanya mempunyai fungsi mekanisme semata – mata sebab pengenalan dengan akal mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan. Pengenalan dengan akal mukai dengan memakai kata–kata ( pengertian–pengertian), yang hanya mewujudkan tanda–tanda yang menurut adat saja, dan menjadikan roh manusia dapat memiliki gambaran dari hal – hal yang di ucapkan dengan kata–kata itu. Pengertian–pengertian umum hanyalah nama saja, yaitu nama–nama bagi gambaran–ganbaran ingatan tersebut, bukan nama–nama bendanya. Nama–nama itu tidak mempunyai nilai objektif. Pendapat atau pertimbangan adalah penggabungan dua nama, sedang silogisme adalah suatu soal hitung, di mana orang bekerja dengan tiga nama. Yang di sebut pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan, yang di simpan di dalam ingatan dan di tentukan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa yang lampau. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda – benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini di teruskan kepada otak dan dari otak di teruskan ke jantung. Di dalam jantung timbulah suatu reaksi suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengmatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
Sasaran yang diamati adalah sifat–sifat inderawi. Penginderaan disebabkan karena tekanan objek atau sasaran. Kualitas di dalam objek–objek, yang sesuai dengan penginderaan kita, bergerak menekan indera kita. Warna yang kita lihat, suara yang kita dengar, bukan berada di dalam objek, melainkan di dalam subjeknya. Sifat sifat inderawi tidak memberi gambaran tentang sebab yang menimbulkan penginderaan. Ingatan, rasa senang dan todak senang dan segala gejala jiwani, bersandar semata–mata pada asosiasi gambaran–gambaran yang murni bersifat mekanis. Sementara itu salah seorang tokoh empirisme yang lain berpendapat bahwa segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal (rasio) adalah pasif pada waktu pengetahuan di dapatkan. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri. Semula akal serupa dengan secarik kertas yang tanpa tulisan, yang menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Locke tidak membedakan antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan akalis.  Satu – satunya sasaran atau objek pengetahuan adalah gagasan – gagasan atau ide – ide yang timbulnya karena pengalaman lahiriah (sensation) dan karena pengalaman bathiniah ( reflection). Pengalamn lahiriah mengajarkan kepada kita tentang hal – hal yang di luar kita, sedangkan pengalaman batiniah mengajarkan tentang keadaan – keadaan psikis kita sendiri. Kedua macam pengalaman ini jalin menjalin. Pengalaman lahiriah menghasilkan gejala–gejala psikis yang harus di tanggapi oleh pengalaman batiniah. Objek–objek pengalaman lahiriah itu mula – mula menjadi isi pengalaman, karena di hisapkan oleh pengalaman bathiniah, artinya objek – objek itu tampil dalam kesadaran. Dengan demikian menganal adalah identik dengan mengenal secara sadar. Dalam hal ini Locke sama dengan Descrates. Segala sesuatu yang berada di luar kita menimbulkan didalam diri kita gagasan – gagasan dari pengalaman lahiriah. Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang sebenarnya, yang terdalam. Jika hasil pemikiran itu disusun, maka susunan itulah yang kita sebut Sistematika Filsafat. Sistematika atau struktur filsafat dalam garis besar terdiri atas ontologi, epistimologi dan aksiologi. Isi setiap cabang filsafat ditentukan oleh objek apa yang diteliti (dipikirkan)-nya. Jika ia memikirkan pendidikan maka jadilah Filsafat Pendidikan. Jika ia memikirkan hukum maka jadilah Filsafata Hukum, dan lain sebagainya. Inilah objek filsafat. Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek penelitian sains. Sains hanya meneliti objek yang ada, sedangkan filsafat meneliti objek yang ada dan mungkin ada. Sebenarnya masih ada objek lain yang disebut objek forma yang menjelaskan sifat kemendalaman penelitian filsafat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar