Rekonseptualisasi
Filsafat Matematika
1.
Wilayah Filsafat matematika
Ada tiga hal yang dianggap penting tentang filsafat
dan pendidikan. Setiap masalah ini digambarkan dalam bentuk sebuah dikotomi
yang selalu berisi perbandingan pemikiran sudut pandang filsafat absolutis
danfallibilis.
Pertama, ada perbedaan antara pengetahuan sebagai produk
akhir yang sebagian besar diwujudkan dalam bentuk dalil-dalil dengan kegiatan
memahami atau kegiatan mencari pengetahuan. Yang terakhir berhubungan dengan
asal-usul pengetahuan dan dengan keterlibatan manusia dalam penciptaannya.
Pandangan absolutis terfokus pada yang pertama yaitu
produk akhir yang sudah selesai dan dasar-dasar kebenarannya. Pandangan
filsafat absolutis tidak hanya terfokus pada pengetahuan sebagai produk
objektif, mereka sering menolak keabsahan filsafat terkait dengan asal usul
pengetahuan dan lebih suka memasukan wilayah itu kedalam wilayah ilmu psikologi
dan ilmu social. Kecuali aliran konstruktifisme yang mengakui elemen mencoba
mencari tahu dalam bentuk yang telah ada.
Pandangan fallibilis terkait dengan hakikat
matematika, dengan mencari tahu atau memahami kesalahan dalam matematika, tidak
dapat terlepas dari pemikiran untuk menggantikan teori dan mengembangkan
pengetahuan. Pada intinya pandangan seperti ini sangat berhubungan dengan
konteks penciptaan pengetahuan dan asal-usul sejarah matematika, jika pandangan
ini bisa dikatakan mampu memberikan gambaran dan penjelasan yang baik tentang
matematika secara utuh.
Kedua, ada perbedaan antara matematika sebagai
pengetahuan yang berdiri sendiri dan bebas nilai dengan matematika sebagai
sesuatu yang berhubungan dan menjadi
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari jaringan ilmu pengetahuan manusia.
Absolutis matematika menyebutnya sebagai status unik
dengan mengatakan bahwa matematika adalah satu-satunya ilmu pengetahuan yang
didasarkan pada pembuktian-pembuktian yang kuat. Kondisi ini disertai dengan
penolakan pandangan internalis terkait dengan relefansi sejarah atau asal-usul
atau konteks manusia, semakin menguatkan batas bahwa matematika adalah diisplin
yang terpisah dan berdiri seendiri.
Fallibilis memasukan lebih banyak hal didalam
wilayah filsafat matematika. Karena matematika dipandang tidak absolute, maka
matematika tidak dapat secara sah dipisahkan dari ilmu pengetahuan empiris (dan
oleh karena itu tidak absolut) pengetahuan fisik dan ilmu lainnya. Karena
aliran fallibilism masuk kedalam wilayah asal usul (terciptanya) pengetahuan
matematika dan juga produknya, maka matematika dipandang sebagai bagian yang
menyatu dengan sejarah dan kehidupan manusia.
Ketiga, perbedaan ini memisahkan pandangan matematika
sebagai ilmu yang objektif dan bebas nilai karena hanya terfokus pada logika
internalnya sendiri, dengan memandang matematika sebagai bagian yang menyatu
dengan budaya manusia dan oleh karena itu dipengaruhi oleh nilai-nilai manusia
seperti halnya wilayah dan pengetahuan lainnya. Pandangan filsafat absolutis
dengan fokus internalnya, memandang matematika sebagai ilmu yang objektif dan
terlepas dari moral dan nilainilai manusia. Pandangan fallibilis sebaliknya
menghubungkan matematika dengan ilmu pengetahuan lainnya berlandaskan pada
sejarah dan asal-usul sosialnya. Oleh Karena itu falliblis memandang matematika
memiliki nilainilai lainnya seperti nilai moral dan social yang memiliki peran
penting dalam pengembangan dan penerapan matematika.
Apa yang disajikan disini adalah bahwa wilayah
filsafat matematika seharusnya mencakup persoalan-persoalan eksternal dengan
dasar sejarah dan konteks social matematika selain fokus pada persoalan
internal terkait dengan pengetahuan, eksistensi dan kebenaran.
Kriteria
Filsafat Matematika yang Ditawarkan
Kriteria filsafat matematika seharusnya menguraikan:
Pengetahuan
matematika: hakikat, nilai
kebenaran dan asal usul.
Objek matematika:
hakikat dan keaslian.
paapeenr naitaetmmka : keefektifannya terhadap
sains, teknologi dan wilayah lain.
Praktek matematika:
aktifitas ahli matematika baik di waktu sekarang atau di waktu lampau.
Kriteria ini seharusnya digunakan untuk filsafat
matematika manapun.
2.
Pengujian Lebih Jauh Tentang Aliran-Aliran Filsafat
A.
Aliran Absolutis
Dalam bab sebelumnya kami memandang pengikut aliran
logis, formalis dan intusionis adalah pengikut aliran absolutis. Kami telah
memberikan contoh kegagalan pemikiran aliran ini dan kami juga telah membuktikan
ketaktepatan aliran absolutis untuk filsafat matematika. Berdasarkan
padakriteria diatas, kami dapat memberikan kritik lebih jauh terkait dengan
ketidaksesuaian aliran inisebagaifilsafat matematika.
B.
Aliran Absolutis Progresif
Meskipun berbagai macam absolutisme telah
dikelompokan dan menjadi objek kritik bersama, ada bentuk-bentuk absolutisme
yang berbeda dalam matematika. Menyamakannya dengan filsafat sains, Confrey
(1981) memisahkan absolute formal dengan absolute progresif dalam filsafat
matematika.
Absolutis progresif yang lebih memandang (dari sudut
padang aliran absolutis) matematika sebagai akibat dari upaya manusia untuk
mencari kebenaran daripada hasilnya. Filsafat absolut progresif:
1.
Menerima
penciptaan dan perubahan teori-teori aksiomatis (yang kebenarannyahampir
dianggap mutlak).
2.
Mengakui bahwa
keberadaan matematika formal karena intuisi matematika diperlukan sebagai dasar
dari penciptaan teori.
3.
Mengakui
aktifitas manusia dan akibatnya dalam penciptaan pengetahuan dan teori-teori
baru.
Intusionisme (dan konstruktifisme, lebih umumnya)
sesuai dengan deskripsi ini. Karena intusionisme adalah pondasionis dan
absolutis yang berusaha mencari pondasi (dasar) yang kuat untuk pengetahuan
matematika melalui pembuktian-pembuktian intusionistik dan “urintuition”
(Kalmar, 1967).
Intusionisme dan filsafat absolutis progresif secara
umum memenuhi kriteria dibandingkan dengan filsafat absolut formal, meskipun
secara keseluruhan tetap memberikan penentangan karena aliran ini memberikan
ruang, meskipun terbatas, untuk para ahli matematika yang beraktivitas
(Kriteria 4). Mereka memandang elemen manusia, meskipun dalam bentuknya yang
unik, memiliki tempat dalam matematika informal. Harus diakui bahwa aliran ini
memenuhi sebagiankriteria.
C.
Platonisme
Platonisme adalah pandangan bahwa objek matematika
memiliki eksistensi objektif yang nyata dalam beberapa wilayah ideal. Pandangan
ini berasal dari Plato dan dapat dilihat dalam tulisan penganut aliran Logis
seperti Frege dan Rusell, dan juga Cantor, Bernays (1934), Hardy (1967) dan
Godel (1964).Penganut aliran Platonis berpendapat bahwa objek dan struktur
matematika memiliki eksistensi nyata yang terpisah dari kemanusiaan dan oleh
karena itu matematika adalah proses untuk menemukan hubungan yang ada
dibaliknya. Menurut penganut aliran Platonis pengetahuan matematika terdiri
dari penjelasan objek-objek dan hubungan dengan struktur yang menghubungkan
mereka.
Platonisme dengan jelas memberikan pemecahan
terhadap persoalan objektifitas matematika. Platonisme mencakup baik
kebenarannya dan eksistensi objeknya sebagaimana juga kemandirian matematika
yang memiliki hukum dan logika sendiri.Yang lebih menarik disini adalah adanya
fakta bahwa filsafat yang tampaknya tidak masuk akal ini berhasil menciptakan
ahli ma tematika seperti Cantor dan Godel. Disamping hal yang menarik seperti
itu, platonisme memiliki dua kelemahan penting. Pertama, aliran ini tidak mampu menawarkan penjelasan yang tepat
terkait dengan bagaimana ahli matematika memperoleh akses kedalam pengetahuan
yang ada dalam wilayah platonic. Kedua,
aliran ini tidak mampu memberikan deskripsi yang tepat untuk matematika baik
secara internal atau eksternal. Karena
aliran ini tidak dapat memenuhi persyaratan diatas, platonisme ditolak sebagai
filsafat matematika.
D.
Konvensionalisme
Pandangan pengikut aliran konvensionalis menyebutkan
bahwa pengetahuan matematika dan kebenaran didasarkan pada konvensi (kesepakatan)
linguistik. Atau lebih jauh kebenaran logika dan matematika memiliki sifat analitis,
benar karena ada hubungan nilai dari
26 makna istilah yang digunakan. Bentuk moderat dari
konvensionalisme seperti Quine (1936) atau Hempel (1945) menggunakan konvensi
linguistik sebagai sumber kebenaran matematika dasar yang menjadi landasan
konstruksi bangunan matematika. Bentuk konvensionalisme ini sedikit banyak sama
dengan “ifthenisme”yang dijelaskan di Bab
1 sebagai posisi mempertahankan diri aliran pondasionis yang sudah kalah.
Pandangan ini tetap saja absolutis dan tetap dapat dikenakan penolakan yang
sama. Filasafat matematika konvensionalis telah dikritik oleh penulis
sebelumnya dengan dua alasan. Pertama,
dikatakan disini bahwa aliran ini tidak banyak memberikan informasi. Terlepas
dari penjelasan tentang sifat social matematika, konvensionalisme hanya
memberikan sedikit informasi. Kedua,
penolakan dari Quine.Penolakan Quine tidak memiliki alasan kuat karena
penolakan itu tidak dapat dikenakan pada bahasa asli dan dikenakan pada peran
pembatas pada konvensi umum. Sebaliknya dia benar dengan mengatakan bahwa kita
tidak akan menemukan semua kebenaran matematika dan logika yang dikemukakan
secara literal seperti aturan dan konvensi linguistik.Meskipun Quine mengkritik
konvensionalisme terkait dengan logika, dia memandang aliran ini memiliki potensi
menjadi filsafat matematikayang sedikit berbeda.
E.
Empirisme
Pandangan empiris tentang pengetahuan matematika (“empirisme
naïf” untuk membedakannya dengan “empirisme kuasi”nya
Lakatos) menyebutkan bahwa kebenaran matematika adalah generalisasi empirik (pengamatan).
Kami membedakan dua tesis empiris: (i) konsep matematika memiliki asal usul
empirik dan (ii) kebenaran matematika memiliki dasar kebenaran empirik maka
diambil dari dunia nyata. Tesis pertama tidak dapat disangkal dan telah
diterima oleh sebagian besar filsuf matematika (sehingga banyak konsep tidak
terbentuk secara langsung dari pengamatan tetapi terdefinisi karena adanya
konsep lain yang menyebabkan terbentuknya konsep dari pengamatan melalui
serangkaian definisi). Tesis yang kedua ditolak oleh semua pihak kecuali
penganut aliran empiris karena arahnya yang mengarah ke ketidakjelasan.
Penolakan pertama beralasan bahwa sebagian besar ilmu matematika diterima
dengan dasar alasan teoritis dan bukan empiris. Oleh karena itu saya tahu bahwa
999.999 + 1 = 1.000.000 tidak melalui pengamatan kebenarannya di dunia tetapi
melalui pengetahuan teoritis saya tentang angka dan penjumlahan.
Empirisme terbuka untuk sejumlah kritik. Pertama, ketika pengalaman kita
berlawanan dengan kebenaran matematika dasar, kita tidak akan menyangkalnya
(Davis dan Hersh, 1980). Kita justru akan berasumsi bahwa mungkin ada kesalahan
dalam penalaran kita karena ada kesepakatan bersama tentang matematika sehingga
kita tidak dapat menolak kebenaran matematika (Wittgenstein, 1978). Oleh karena
itu, “1 + 1= 3” sangat jelas salah,
bukan karena jika seekor kelinci ditambahkan ke kelinci lainnya tidak dapat
berjumlah tiga kelinci tetapi dengan definisi “1
+ 1” artinya “pengganti dari 1”
dan “2” adalah pengganti dari “1”. Kedua, matematika sangat abstrak dan begitu banyak
konsepnya tidak memiliki keaslian dalam pengamatan di dunia nyata. Justru
konsep tersebut didasarkan pada konsep yang sudah terbentuk sebelumnya.
Kebenaran kebenaran tentang konsep seperti itu yang membentuk bangunan matematika
tidak dapat dikatakan berasal dari kesimpulan dari observasi dunia luar. Ketiga, empirisme bisa dikritik karena
terfokus secara eksklusif (khusus) pada masalah-masalah pondasionis dan gagal
menguraikan kecukupan tentang pengetahuan
matematika. Dengan dasar kritik ini kami menolak pandangan empirik
sebagai filsafat matematika yang tepat.
Empirisme Kuasi
Empirisme kuasi adalah nama yang diberikan kepada
filsafat matematika yang dikembangkan oleh Imre Lakatos (1976, 1978). Aliran
ini memandang matematika sebagai apa yang ahli matematika lakukan dan dengan
semua kekurangan yang melekat pada aktifitas atau ciptaan manusia. Empirisme
kuasi menampilkan “arah baru dalam filsafat matematika”
(Tymoczko, 1986), karena penekanannya pada praktek matematika. Para pendukung
dari pandangan ini adalah Davis (1975), Hallett (1979), Hersh (1979), Tymoczko
(1979) dan setidaknya sebagian, Putnam (1975).
Berikut ini adalah sketsa awal dari pemikiran
empirisme kuasi. Matematika adalah sebuah dialog diantara orang-orang yang
mencoba menyelesaikanpersoalan matematika. Ahli matematika tidak bisa lepas
dari kesalahan dan produk mereka termasuk konsep dan pembuktian tidak dapat
dianggap produk akhir atau sempurna tetapi masih membutuhkan negosiasi kembali
sebagai standar perubahan yang harus dilakukan dengan teliti atau sebagai
tantangan baru atau makna yang muncul. Sebagai aktifitas manusia, matematika
tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dari sejarah dan
aplikasinya kedalam sains dan ilmu lainnya. Empirisme kuasi menampilkan “kebangkitan
kembali empirisme dalam filsafat matematika terkini”
(Lakatos, 1967).
Lima tesis dari empirisme kuasi dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
Pengetahuan matematika dapat keliru
Matematika Bersifat Hipotetis-deduktif
Sejarah adalah pusat
Penegasan Pentingnya Matematika Informal
Dimasukkannya Teori Penciptaan Pengetahuan
Ada pola sederhana untuk penemuan matematika atau
pertumbuhan teori matematika informal. Pola tersebut terdiri dari tahap-tahap berikut:
1.
Dugaaan awal.
2.
Pembuktian
(eksperimen atau argument, perubahan dari dugaan awal menjadi sub-dugaan atau
lemma).
3.
Kontra contoh “global”
(kontra contoh untuk dugaan sederhana).
4.
Bukti pengujian
kembali: “lemma yang salah”untuk kontra contoh global adalah kontra
contoh “local”.
Empat tahap ini adalah inti dari analisa bukti. Tetapi ada beberapa tahap
standar berikutnya yang sering muncul.
5.
Bukti pengujian
teori lainnya.
6.
Pengecekkan
hasil yang diterima saat itu dari dugaan aslinya dan yang sekarang dibuktikan
kesalahannya.
7.
Kontra Contoh
menjadi contoh baru-wilayah baru dari penemuan terbuka.
Dapat dilihat disini bahwa inti filsafat matematika
Lakatos adalah sebuah teori asal usul pengetahuan matematika. yaitu teori
praktek matematika dan teori sejarah matematika. Lakatos tidak menawarkan teori
psikologi penciptaan atau penemuan matematika karena dia tidak menyentuh
asal-usul aksioma, definisi dan dugaan dalam pikiran orang perorang. Fokus dia
adalah pada proses yang merubah penciptaan individu menjadi pengetahuan
matematikan public yang diterima luas, terkait hal tersebut, filsafatnya sama
dengan filsafat sains falsifikasionis-nya Karl Popper, pandangan yang Lakatos
sudah ketahui. Popper (1959) mengemukakan dalil sebuah “logika
penemuan ilmiah” dimana dia berpendapat bahwa sains berkembang
melalui proses pembentukan dugaan dan pembukian keliru. Perbedaannyaa dalah
bahwa Popper focus pada rekonstruksi rasional atau idealisasi teori dan menolak
validitas filsafat dari penerapan model sainsnya ke sejarah. Lakatos,
sebaliknya menolak memisahkan perkembangan teori filsafat pengetahuan dari realitas sejarahnya.
Oleh karena itu kami akan memberikan perhatian pada
evaluasi filsafat empiris-kuasi-nya Lakatos.
Kriteria Cukup
dan Empirisme Kuasi
Empirisme kuasi menawarkan penjelasan sebagian
tentang pengetahuan matematika serta asal usul dan dasar kebenarannya. Dalam
hal ini Lakatos menawarkan penjelasan yang lebih luas dibandingkan dengan
filsafat matematika lainnya yang telah kita bahas, jauh melebihi wilayah
mereka. Lakatos menjelaskan pengetahuan matematika sebagai hipotetisdeduktif
dan empirik-kuasi dan memiliki kesamaan dengan filsafat sainsnya Popper (1979).
Dia menjelaskan kesalahan dalam pengetahuan matematika dan memberikan teori
tentang asal-usul pengetahuan matematika. Penjelasan ini mencakup praktek matematika
dan sejarahnya juga.
Karena teori Lakatos untuk asal usul matematika memiliki
banyak kesamaan dengan sains, keberhasilan penerapan matematika dapat disamakan
dengan sains dan teknologi. Memberikan penjelasan tentang matematika terapan
akan menjadi kekuatan terutama untuk menghadapi pengabaian yang ditunjukan oleh
filsafat matematika lainnya (Korbner 1960). Yang terakhir, kekuatan penting
dari filsafat matematika Lakatos adalah bahwa filsafat ini tidak preskriptif
(menekankan penerapan metode atau aturan) tetapi deskriptif (memberikan
penjelasan) dan cenderung memberikan gambaran tentang matematika seperti apa
adanya dan bukan seperti apa yang harus dipraktekan dengan menggunakan
matematika. Terkait dengan kriteria sebelumnya, empirisme kuasi memenuhi
kriteria pengetahuan matematika (i), aplikasi (iii) dan praktek (iv). Empirisme
kuasi dapat dikritik berdasarkan pada beberapa alasan.
Pertama, tidak ada penjelasan tentang kepastian kebenaran
matematika.
Kedua, Lakatos tidak menguraikan hakikat dari objek-objek
matematika atau asal-usul objek-objek tersebut.
Ketiga, Lakatos tidak memberikan penjelasan tentang
hakikat atau keberhasilan aplikasi matematika atau keefektifannya dalam sains,
teknologi dan di wilayah lain.
Keempat, Lakatos tidak begitu mengembangkan untuk membawa
sejarah matematika kedalam inti dari filsafat matematikanya.
Kelima, Lakatos tidak dapat memberikan dasar kebenaran
untuk memasukan tesis sejarah empiris kedalam pendekatan filsafat analitis
dengan menggunakan pijakan yang sama dengan metodologi logis.
Keenam, filsafat matematika empiris-kuasi Lakatos
memberikan alasan yang diperlukan tetapi tidak cukup banyak untuk mengembangkan
pengetahuan matematis.
Ketujuh, tidak ada eksposisi sistematis dari empirisme
kuasi yang dijelaskan secara detail ntuk membantah penolakan terhadap dia.
Publikasi Lakatos tentang filsafat matematika berisi studi kasus historis dan
tulisan polemik.
Secara keseluruhan dapat dilihat disini bahwa
kelemahan utama dari empirisme kuasi adalah penghilangan. Kritik diatas yang
diambil dari sudut pandang yang bersimpati tidak menyingkap kelemahan mendasarnya.Kritik
diatas hanya menunjukan perlunya program penelitian katakanlah untuk
mengembangkan empirisme kuasi secara sistematis dan mengisi celahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar