Jumat, 16 Desember 2016

BAB 2



Rekonseptualisasi Filsafat Matematika
1.      Wilayah Filsafat matematika
Ada tiga hal yang dianggap penting tentang filsafat dan pendidikan. Setiap masalah ini digambarkan dalam bentuk sebuah dikotomi yang selalu berisi perbandingan pemikiran sudut pandang filsafat absolutis danfallibilis.

Pertama, ada perbedaan antara pengetahuan sebagai produk akhir yang sebagian besar diwujudkan dalam bentuk dalil-dalil dengan kegiatan memahami atau kegiatan mencari pengetahuan. Yang terakhir berhubungan dengan asal-usul pengetahuan dan dengan keterlibatan manusia dalam penciptaannya.
Pandangan absolutis terfokus pada yang pertama yaitu produk akhir yang sudah selesai dan dasar-dasar kebenarannya. Pandangan filsafat absolutis tidak hanya terfokus pada pengetahuan sebagai produk objektif, mereka sering menolak keabsahan filsafat terkait dengan asal usul pengetahuan dan lebih suka memasukan wilayah itu kedalam wilayah ilmu psikologi dan ilmu social. Kecuali aliran konstruktifisme yang mengakui elemen mencoba mencari tahu dalam bentuk yang telah ada.
Pandangan fallibilis terkait dengan hakikat matematika, dengan mencari tahu atau memahami kesalahan dalam matematika, tidak dapat terlepas dari pemikiran untuk menggantikan teori dan mengembangkan pengetahuan. Pada intinya pandangan seperti ini sangat berhubungan dengan konteks penciptaan pengetahuan dan asal-usul sejarah matematika, jika pandangan ini bisa dikatakan mampu memberikan gambaran dan penjelasan yang baik tentang matematika secara utuh.
Kedua, ada perbedaan antara matematika sebagai pengetahuan yang berdiri sendiri dan bebas nilai dengan matematika sebagai sesuatu yang berhubungan dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari jaringan ilmu pengetahuan manusia.
Absolutis matematika menyebutnya sebagai status unik dengan mengatakan bahwa matematika adalah satu-satunya ilmu pengetahuan yang didasarkan pada pembuktian-pembuktian yang kuat. Kondisi ini disertai dengan penolakan pandangan internalis terkait dengan relefansi sejarah atau asal-usul atau konteks manusia, semakin menguatkan batas bahwa matematika adalah diisplin yang terpisah dan berdiri seendiri.
Fallibilis memasukan lebih banyak hal didalam wilayah filsafat matematika. Karena matematika dipandang tidak absolute, maka matematika tidak dapat secara sah dipisahkan dari ilmu pengetahuan empiris (dan oleh karena itu tidak absolut) pengetahuan fisik dan ilmu lainnya. Karena aliran fallibilism masuk kedalam wilayah asal usul (terciptanya) pengetahuan matematika dan juga produknya, maka matematika dipandang sebagai bagian yang menyatu dengan sejarah dan kehidupan manusia.
Ketiga, perbedaan ini memisahkan pandangan matematika sebagai ilmu yang objektif dan bebas nilai karena hanya terfokus pada logika internalnya sendiri, dengan memandang matematika sebagai bagian yang menyatu dengan budaya manusia dan oleh karena itu dipengaruhi oleh nilai-nilai manusia seperti halnya wilayah dan pengetahuan lainnya. Pandangan filsafat absolutis dengan fokus internalnya, memandang matematika sebagai ilmu yang objektif dan terlepas dari moral dan nilainilai manusia. Pandangan fallibilis sebaliknya menghubungkan matematika dengan ilmu pengetahuan lainnya berlandaskan pada sejarah dan asal-usul sosialnya. Oleh Karena itu falliblis memandang matematika memiliki nilainilai lainnya seperti nilai moral dan social yang memiliki peran penting dalam pengembangan dan penerapan matematika.
Apa yang disajikan disini adalah bahwa wilayah filsafat matematika seharusnya mencakup persoalan-persoalan eksternal dengan dasar sejarah dan konteks social matematika selain fokus pada persoalan internal terkait dengan pengetahuan, eksistensi dan kebenaran.
Kriteria Filsafat Matematika yang Ditawarkan
Kriteria filsafat matematika seharusnya menguraikan:
Pengetahuan matematika: hakikat, nilai kebenaran   dan asal usul.
Objek matematika: hakikat dan keaslian.
paapeenr naitaetmmka : keefektifannya terhadap sains, teknologi dan wilayah lain.
Praktek matematika: aktifitas ahli matematika baik di waktu sekarang atau di waktu lampau.
Kriteria ini seharusnya digunakan untuk filsafat matematika manapun.
2.      Pengujian Lebih Jauh Tentang Aliran-Aliran Filsafat
A.    Aliran Absolutis
Dalam bab sebelumnya kami memandang pengikut aliran logis, formalis dan intusionis adalah pengikut aliran absolutis. Kami telah memberikan contoh kegagalan pemikiran aliran ini dan kami juga telah membuktikan ketaktepatan aliran absolutis untuk filsafat matematika. Berdasarkan padakriteria diatas, kami dapat memberikan kritik lebih jauh terkait dengan ketidaksesuaian aliran inisebagaifilsafat matematika.
B.     Aliran Absolutis Progresif
Meskipun berbagai macam absolutisme telah dikelompokan dan menjadi objek kritik bersama, ada bentuk-bentuk absolutisme yang berbeda dalam matematika. Menyamakannya dengan filsafat sains, Confrey (1981) memisahkan absolute formal dengan absolute progresif dalam filsafat matematika.
Absolutis progresif yang lebih memandang (dari sudut padang aliran absolutis) matematika sebagai akibat dari upaya manusia untuk mencari kebenaran daripada hasilnya. Filsafat absolut progresif:
1.      Menerima penciptaan dan perubahan teori-teori aksiomatis (yang kebenarannyahampir dianggap mutlak).
2.      Mengakui bahwa keberadaan matematika formal karena intuisi matematika diperlukan sebagai dasar dari penciptaan teori.
3.      Mengakui aktifitas manusia dan akibatnya dalam penciptaan pengetahuan dan teori-teori baru.
Intusionisme (dan konstruktifisme, lebih umumnya) sesuai dengan deskripsi ini. Karena intusionisme adalah pondasionis dan absolutis yang berusaha mencari pondasi (dasar) yang kuat untuk pengetahuan matematika melalui pembuktian-pembuktian intusionistik dan urintuition” (Kalmar, 1967).
Intusionisme dan filsafat absolutis progresif secara umum memenuhi kriteria dibandingkan dengan filsafat absolut formal, meskipun secara keseluruhan tetap memberikan penentangan karena aliran ini memberikan ruang, meskipun terbatas, untuk para ahli matematika yang beraktivitas (Kriteria 4). Mereka memandang elemen manusia, meskipun dalam bentuknya yang unik, memiliki tempat dalam matematika informal. Harus diakui bahwa aliran ini memenuhi sebagiankriteria.
C.    Platonisme
Platonisme adalah pandangan bahwa objek matematika memiliki eksistensi objektif yang nyata dalam beberapa wilayah ideal. Pandangan ini berasal dari Plato dan dapat dilihat dalam tulisan penganut aliran Logis seperti Frege dan Rusell, dan juga Cantor, Bernays (1934), Hardy (1967) dan Godel (1964).Penganut aliran Platonis berpendapat bahwa objek dan struktur matematika memiliki eksistensi nyata yang terpisah dari kemanusiaan dan oleh karena itu matematika adalah proses untuk menemukan hubungan yang ada dibaliknya. Menurut penganut aliran Platonis pengetahuan matematika terdiri dari penjelasan objek-objek dan hubungan dengan struktur yang menghubungkan mereka.
Platonisme dengan jelas memberikan pemecahan terhadap persoalan objektifitas matematika. Platonisme mencakup baik kebenarannya dan eksistensi objeknya sebagaimana juga kemandirian matematika yang memiliki hukum dan logika sendiri.Yang lebih menarik disini adalah adanya fakta bahwa filsafat yang tampaknya tidak masuk akal ini berhasil menciptakan ahli ma tematika seperti Cantor dan Godel. Disamping hal yang menarik seperti itu, platonisme memiliki dua kelemahan penting. Pertama, aliran ini tidak mampu menawarkan penjelasan yang tepat terkait dengan bagaimana ahli matematika memperoleh akses kedalam pengetahuan yang ada dalam wilayah platonic. Kedua, aliran ini tidak mampu memberikan deskripsi yang tepat untuk matematika baik secara  internal atau eksternal. Karena aliran ini tidak dapat memenuhi persyaratan diatas, platonisme ditolak sebagai filsafat matematika.
D.    Konvensionalisme
Pandangan pengikut aliran konvensionalis menyebutkan bahwa pengetahuan matematika dan kebenaran didasarkan pada konvensi (kesepakatan) linguistik. Atau lebih jauh kebenaran logika dan matematika memiliki sifat analitis, benar karena ada hubungan nilai dari
26 makna istilah yang digunakan. Bentuk moderat dari konvensionalisme seperti Quine (1936) atau Hempel (1945) menggunakan konvensi linguistik sebagai sumber kebenaran matematika dasar yang menjadi landasan konstruksi bangunan matematika. Bentuk konvensionalisme ini sedikit banyak sama dengan ifthenismeyang dijelaskan di Bab 1 sebagai posisi mempertahankan diri aliran pondasionis yang sudah kalah. Pandangan ini tetap saja absolutis dan tetap dapat dikenakan penolakan yang sama. Filasafat matematika konvensionalis telah dikritik oleh penulis sebelumnya dengan dua alasan. Pertama, dikatakan disini bahwa aliran ini tidak banyak memberikan informasi. Terlepas dari penjelasan tentang sifat social matematika, konvensionalisme hanya memberikan sedikit informasi. Kedua, penolakan dari Quine.Penolakan Quine tidak memiliki alasan kuat karena penolakan itu tidak dapat dikenakan pada bahasa asli dan dikenakan pada peran pembatas pada konvensi umum. Sebaliknya dia benar dengan mengatakan bahwa kita tidak akan menemukan semua kebenaran matematika dan logika yang dikemukakan secara literal seperti aturan dan konvensi linguistik.Meskipun Quine mengkritik konvensionalisme terkait dengan logika, dia memandang aliran ini memiliki potensi menjadi filsafat matematikayang sedikit berbeda.
E.     Empirisme
Pandangan empiris tentang pengetahuan matematika (empirisme naïfuntuk membedakannya dengan “empirisme kuasinya Lakatos) menyebutkan bahwa kebenaran matematika adalah generalisasi empirik (pengamatan). Kami membedakan dua tesis empiris: (i) konsep matematika memiliki asal usul empirik dan (ii) kebenaran matematika memiliki dasar kebenaran empirik maka diambil dari dunia nyata. Tesis pertama tidak dapat disangkal dan telah diterima oleh sebagian besar filsuf matematika (sehingga banyak konsep tidak terbentuk secara langsung dari pengamatan tetapi terdefinisi karena adanya konsep lain yang menyebabkan terbentuknya konsep dari pengamatan melalui serangkaian definisi). Tesis yang kedua ditolak oleh semua pihak kecuali penganut aliran empiris karena arahnya yang mengarah ke ketidakjelasan. Penolakan pertama beralasan bahwa sebagian besar ilmu matematika diterima dengan dasar alasan teoritis dan bukan empiris. Oleh karena itu saya tahu bahwa 999.999 + 1 = 1.000.000 tidak melalui pengamatan kebenarannya di dunia tetapi melalui pengetahuan teoritis saya tentang angka dan penjumlahan.
Empirisme terbuka untuk sejumlah kritik. Pertama, ketika pengalaman kita berlawanan dengan kebenaran matematika dasar, kita tidak akan menyangkalnya (Davis dan Hersh, 1980). Kita justru akan berasumsi bahwa mungkin ada kesalahan dalam penalaran kita karena ada kesepakatan bersama tentang matematika sehingga kita tidak dapat menolak kebenaran matematika (Wittgenstein, 1978). Oleh karena itu, 1 + 1= 3 sangat jelas salah, bukan karena jika seekor kelinci ditambahkan ke kelinci lainnya tidak dapat berjumlah tiga kelinci tetapi dengan definisi 1 + 1 artinya pengganti dari 1 dan 2 adalah pengganti dari 1”. Kedua, matematika sangat abstrak dan begitu banyak konsepnya tidak memiliki keaslian dalam pengamatan di dunia nyata. Justru konsep tersebut didasarkan pada konsep yang sudah terbentuk sebelumnya. Kebenaran kebenaran tentang konsep seperti itu yang membentuk bangunan matematika tidak dapat dikatakan berasal dari kesimpulan dari observasi dunia luar. Ketiga, empirisme bisa dikritik karena terfokus secara eksklusif (khusus) pada masalah-masalah pondasionis dan gagal menguraikan kecukupan tentang pengetahuan  matematika. Dengan dasar kritik ini kami menolak pandangan empirik sebagai filsafat matematika yang tepat.
Empirisme Kuasi
Empirisme kuasi adalah nama yang diberikan kepada filsafat matematika yang dikembangkan oleh Imre Lakatos (1976, 1978). Aliran ini memandang matematika sebagai apa yang ahli matematika lakukan dan dengan semua kekurangan yang melekat pada aktifitas atau ciptaan manusia. Empirisme kuasi menampilkan arah baru dalam filsafat matematika (Tymoczko, 1986), karena penekanannya pada praktek matematika. Para pendukung dari pandangan ini adalah Davis (1975), Hallett (1979), Hersh (1979), Tymoczko (1979) dan setidaknya sebagian, Putnam (1975).
Berikut ini adalah sketsa awal dari pemikiran empirisme kuasi. Matematika adalah sebuah dialog diantara orang-orang yang mencoba menyelesaikanpersoalan matematika. Ahli matematika tidak bisa lepas dari kesalahan dan produk mereka termasuk konsep dan pembuktian tidak dapat dianggap produk akhir atau sempurna tetapi masih membutuhkan negosiasi kembali sebagai standar perubahan yang harus dilakukan dengan teliti atau sebagai tantangan baru atau makna yang muncul. Sebagai aktifitas manusia, matematika tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dari sejarah dan aplikasinya kedalam sains dan ilmu lainnya. Empirisme kuasi menampilkan kebangkitan kembali empirisme dalam filsafat matematika terkini (Lakatos, 1967).
Lima tesis dari empirisme kuasi dapat diidentifikasi  sebagai berikut:
Pengetahuan matematika dapat keliru
Matematika Bersifat Hipotetis-deduktif
Sejarah adalah pusat
Penegasan Pentingnya Matematika Informal
Dimasukkannya Teori Penciptaan Pengetahuan
Ada pola sederhana untuk penemuan matematika atau pertumbuhan teori matematika informal. Pola tersebut terdiri dari tahap-tahap berikut:
1.      Dugaaan awal.
2.      Pembuktian (eksperimen atau argument, perubahan dari dugaan awal menjadi sub-dugaan atau lemma).
3.      Kontra contoh  global (kontra contoh untuk  dugaan sederhana).
4.      Bukti pengujian kembali: lemma yang salahuntuk  kontra contoh global adalah kontra contoh  local. Empat tahap ini adalah inti dari analisa bukti. Tetapi ada beberapa tahap standar berikutnya yang sering muncul.
5.      Bukti pengujian teori lainnya.
6.      Pengecekkan hasil yang diterima saat itu dari dugaan aslinya dan yang sekarang dibuktikan kesalahannya.
7.      Kontra Contoh menjadi contoh baru-wilayah baru dari penemuan terbuka.
Dapat dilihat disini bahwa inti filsafat matematika Lakatos adalah sebuah teori asal usul pengetahuan matematika. yaitu teori praktek matematika dan teori sejarah matematika. Lakatos tidak menawarkan teori psikologi penciptaan atau penemuan matematika karena dia tidak menyentuh asal-usul aksioma, definisi dan dugaan dalam pikiran orang perorang. Fokus dia adalah pada proses yang merubah penciptaan individu menjadi pengetahuan matematikan public yang diterima luas, terkait hal tersebut, filsafatnya sama dengan filsafat sains falsifikasionis-nya Karl Popper, pandangan yang Lakatos sudah ketahui. Popper (1959) mengemukakan dalil sebuah logika penemuan ilmiah dimana dia berpendapat bahwa sains berkembang melalui proses pembentukan dugaan dan pembukian keliru. Perbedaannyaa dalah bahwa Popper focus pada rekonstruksi rasional atau idealisasi teori dan menolak validitas filsafat dari penerapan model sainsnya ke sejarah. Lakatos, sebaliknya menolak memisahkan perkembangan teori filsafat pengetahuan  dari realitas sejarahnya.
Oleh karena itu kami akan memberikan perhatian pada evaluasi filsafat empiris-kuasi-nya Lakatos.
Kriteria Cukup dan Empirisme Kuasi
Empirisme kuasi menawarkan penjelasan sebagian tentang pengetahuan matematika serta asal usul dan dasar kebenarannya. Dalam hal ini Lakatos menawarkan penjelasan yang lebih luas dibandingkan dengan filsafat matematika lainnya yang telah kita bahas, jauh melebihi wilayah mereka. Lakatos menjelaskan pengetahuan matematika sebagai hipotetisdeduktif dan empirik-kuasi dan memiliki kesamaan dengan filsafat sainsnya Popper (1979). Dia menjelaskan kesalahan dalam pengetahuan matematika dan memberikan teori tentang asal-usul pengetahuan matematika. Penjelasan ini mencakup praktek matematika dan sejarahnya juga.
Karena teori Lakatos untuk asal usul matematika memiliki banyak kesamaan dengan sains, keberhasilan penerapan matematika dapat disamakan dengan sains dan teknologi. Memberikan penjelasan tentang matematika terapan akan menjadi kekuatan terutama untuk menghadapi pengabaian yang ditunjukan oleh filsafat matematika lainnya (Korbner 1960). Yang terakhir, kekuatan penting dari filsafat matematika Lakatos adalah bahwa filsafat ini tidak preskriptif (menekankan penerapan metode atau aturan) tetapi deskriptif (memberikan penjelasan) dan cenderung memberikan gambaran tentang matematika seperti apa adanya dan bukan seperti apa yang harus dipraktekan dengan menggunakan matematika. Terkait dengan kriteria sebelumnya, empirisme kuasi memenuhi kriteria pengetahuan matematika (i), aplikasi (iii) dan praktek (iv). Empirisme kuasi dapat dikritik berdasarkan pada beberapa alasan.
Pertama, tidak ada penjelasan tentang kepastian kebenaran matematika.
Kedua, Lakatos tidak menguraikan hakikat dari objek-objek matematika atau asal-usul objek-objek tersebut.
Ketiga, Lakatos tidak memberikan penjelasan tentang hakikat atau keberhasilan aplikasi matematika atau keefektifannya dalam sains, teknologi dan di wilayah lain.
Keempat, Lakatos tidak begitu mengembangkan untuk membawa sejarah matematika kedalam inti dari filsafat matematikanya.
Kelima, Lakatos tidak dapat memberikan dasar kebenaran untuk memasukan tesis sejarah empiris kedalam pendekatan filsafat analitis dengan menggunakan pijakan yang sama dengan metodologi logis.
Keenam, filsafat matematika empiris-kuasi Lakatos memberikan alasan yang diperlukan tetapi tidak cukup banyak untuk mengembangkan pengetahuan matematis.
Ketujuh, tidak ada eksposisi sistematis dari empirisme kuasi yang dijelaskan secara detail ntuk membantah penolakan terhadap dia. Publikasi Lakatos tentang filsafat matematika berisi studi kasus historis dan tulisan polemik.
Secara keseluruhan dapat dilihat disini bahwa kelemahan utama dari empirisme kuasi adalah penghilangan. Kritik diatas yang diambil dari sudut pandang yang bersimpati tidak menyingkap kelemahan mendasarnya.Kritik diatas hanya menunjukan perlunya program penelitian katakanlah untuk mengembangkan empirisme kuasi secara sistematis dan mengisi celahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar